Wacana penyederhanaan golongan (simplifikasi) dalam industri hasil tembakau (IHT) kembali mencuat dengan berbagai pro dan kontranya. Anggota Komisi XI DPR-RI M. Misbakhun menilai simplifikasi dan kontribusi IHT bersifat paradoksal.
"Selalu ada pertentangan antara kelompok anti tembakau dengan kelompok yang realistis melihat bahwa IHT ini memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, mengangkat kemiskinan masyarakat," papar Misbakhun dalam keterangannya, Senin (23/8/2021).
Ia tidak memungkiri efek buruk dari rokok, namun manfaatnya juga harus dilihat. Terhadap ekonomi, dari segi pajak dan cukai, IHT memberikan penerimaan negara hampir Rp 300 Triliun. Ada pajak daerah yang dibayarkan ke Pemda. "Ini harus secara nyata disampaikan, jangan hanya pembatasan rokok semata," tegasnya.
Menaikkan cukai dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi, baik itu membuat industri rumahan, dan menengah, itu bukan sebuah prestasi. Itu mematikan unsur ekonomi rakyat, dan yang berkembang malah industri besar. "Berbahaya bila penerimaan cukai hanya bergantung kepada 4 perusahaan," katanya.
Soal dampak simplifikasi terhadap penerimaan negara, menurut Misbakhun, sangat jelas. Simplifikasi ini sangat mengganggu perkembangan IHT kecil untuk menjadi IHT menengah, IHT menengah menjadi besar. "IHT selalu dihadang dengan tarif cukai yang sangat memberatkan mereka. Penjualan belum mereka dapatkan namun uang penebusan cukai harus dibayar di depan," lanjutnya.
Simplifikasi tidak akan mengurangi konsumsi, malah hanya membuat orang mengalihkan konsumsinya dari rokok bermerek jadi rokok yang lebih murah, yang boleh jadi kandungan Tar dan nikotinnya besar, kemudian tidak membayar cukai. Misbakhun melihat Pemerintah tidak pernah membuat pembinaan yang memadai terhadap IHT. "Yang ada malah upaya pembinasaan yang struktural melalui simplifikasi dan tekanan cukai terhadap IHT," pungkasnya.
Sementara itu Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar, menilai argumentasi yang dilontarkan kelompok anti tembakau dalam menggolkan simplifikasi tidak didasarkan pada kondisi sebenarnya. Dengan adanya simplifikasi, menurut Sulami, harga rokok akan semakin tinggi karena golongan-golongan kecil dan menengah yang ada dalam struktur tarif cukai IHT akan dipaksa naik kelas. Dapat dipastikan kebanyakan pelaku IHT di golongan bawah yang dipaksa menaikkan harga tersebut tidak akan mampu bertahan.
Apabila banyak pabrikan yang terdampak, maka jumlah pekerja terdampak yang kehilangan pekerjaan pun akan besar jumlahnya. Ini akan menambah beban baru bagi pemerintah dalam bentuk pengangguran.
"Bagaimana mungkin perusahaan rokok dengan produksi 1 atau 2 milyar dihadapkan dengan perusahaan yang berproduksi di atas 50 miliar," tegas Sulami.
Penggabungan golongan melalui simplifikasi berpotensi besar mematikan perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Logikanya, perusahaan-perusahaan yang lebih dominan atau menguasai pasar akan lebih diuntungkan dengan simplifikasi. Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang malah melangkah lebih jauh dengan mengirim surat kepada Presiden RI pekan lalu. "Kami mengeluhkan kondisi IHT saat ini yang sangat memprihatinkan," papar Johni, Ketua Gapero Malang.
Dalam suratnya Pemerintah diingatkan dengan kondisi pandemi Covid-19 dan penurunan kinerja IHT. "Kami meminta tarif cukai tidak naik dan tidak ada simplifikasi," lanjutnya.
(fdl/fdl)