Buruh Minta Upah Naik, Bakal Ada PHK?

Buruh Minta Upah Naik, Bakal Ada PHK?

Danang Sugianto - detikFinance
Rabu, 03 Nov 2021 06:50 WIB
Sejumlah buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi gelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung. Aksi digelar untuk kawal pembahasan UMP Jabar.
Ilustrasi/Foto: Wisma Putra/detikcom
Jakarta -

Jelang pengumuman besaran upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2022 yang dilakukan paling lambat 30 November 2021, polemik langganan muncul. Para buruh meminta ada kenaikan upah minimum tahun depan sekitar 7-10%.

Di sisi lain, para pengusaha tetap meminta penetapan UMK 2022 mengikuti aturan yang ada, yakni Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya di Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Pemberdayaan Daerah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Adi Mahfudz menilai permintaan para kaum pekerja itu tidak realistis. Apa lagi dunia usaha hampir seluruhnya mengalami dampak negatif dari pandemi COVID-19.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Adapun realistis atau tidak, tentu saja tidak. Karena mengingat kita dalam kondisi pandemi COVID-19. Tentu dari sisi beberapa sektor usaha kita banyak yang terdampak," ucapnya dalam konferensi pers, Selasa (2/11/2021).

Menurut pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) RI itu, butuh waktu 2-3 tahun bagi pengusaha untuk mengembalikan kondisi seperti sebelum pandemi. Pengusaha juga tengah berupaya untuk menjaga agar tidak ada PHK yang menambah jumlah pengangguran.

ADVERTISEMENT

"Di sisi lain kita juga mempertahankan pengangguran, saya kira juga banyak yang masih cari kerja. Itu penting menurut saya," tegasnya.

Walaupun tidak secara tegas menjelaskan adanya PHK jika upah minimum naik, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani meyakini polemik pengupahan ini mempengaruhi investasi di Indonesia.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Lihat juga Video: Demo Aliansi Buruh-Mahasiswa di Patung Kuda DKI Usai, Massa Bubar Diri

[Gambas:Video 20detik]



Sebab ada pergeseran dari jenis realisasi investasi. Dari tadinya Indonesia lebih banyak investasi padat karya yang menyerap banyak lapangan pekerjaan menjadi hanya pada modal.

"Dapat kami sampaikan, kalau kita melihat tahun-tahun sebelumnya di 2010 pada saat investasi PMA dan PMDN itu adalah kira-kira Rp 203-204 triliun, rasio per Rp 1 triliun bisa menyerap 5.014 tenaga kerja. Di 2019 pada saat kita mencapai sekitar Rp 806 triliun, penyerapannya tinggal 1.220 kurang lebih," terangnya.

"Apa artinya, ya ini data loh ya, saya nggak ngarang, artinya yang masuk lebih banyak padat modal. Padat karyanya hilang, itu yang sudah terjadi. Jadi memang ada korelasi bahwa UMP-nya naik maka padat karya yang harusnya jadi bantalan penyerapan tenaga kerja malah menyusut, yang masih bertahan adalah yang padat modal," tambahnya.

Hariyadi menambahkan, pihaknya sejak 2004 atau satu tahun setelah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disahkan sudah sering mengajukan formula penghitungan upah minimum. Sebab menurutnya aturan itu keluar dia yakin akan berpengaruh kepada realisasi investasi.

"Kami melihat bahwa aturan mengenai masalah pengupahan di UU 13 itu pasti akan membuat penyusutan di penyerapan tenaga kerja," tuturnya.


Hide Ads