Pengusaha Siap Kejar Target Pengurangan Emisi Karbon, Ini yang Diminta

Pengusaha Siap Kejar Target Pengurangan Emisi Karbon, Ini yang Diminta

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Rabu, 10 Nov 2021 12:52 WIB
Pecahkan Rekor, Emisi Karbon Global Turun 7 Persen di Masa Pandemi
Foto: Dok Ist
Jakarta -

Demi mengejar target nol emisi karbon alias net zero emission, sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi andalan untuk transisi energi ramah lingkungan. Pengusaha mengatakan sektor swasta siap mengawal transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

"Sektor swasta siap berlari kencang untuk mendukung akselerasi transisi energi, apalagi transisi energi sudah menjadi agenda Pemerintah Indonesia dalam kerangka mitigasi emisi karbon," ujar Muhammad Yusrizki sebagai Ketua Komite Tetap KADIN Bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam keterangannya, Rabu (10/11/2021).

Yusrizki menjelaskan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 - 2030 merupakan tonggak yang telah dinanti oleh sektor swasta yang mulai melakukan transisi energi. Kini pengusaha akan memprioritaskan penambahan kapasitas dari pembangkit EBT.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah Indonesia dengan Asian Development Bank (ADB) juga telah menyampaikan rencana kerja mereka melalui kerangka Energy Mechanism Transition untuk mematikan PLTU batu bara lebih cepat dari usia teknisnya. Kini sektor swasta menurutnya butuh dukungan dari sektor lain dalam mengejar target nol emisi karbon.


"Sektor swasta yang bergerak di ketenagalistrikan telah lebih dulu memulai learning curve mereka, tetapi membutuhkan dukungan dari sektor-sektor lain untuk bisa menjalankan agenda transisi energi nasional," ujar Yusrizki.

ADVERTISEMENT

Yusrizki memberikan contoh, untuk sektor perbankan misalnya saat ini harusnya sudah berbenah dan mulai mengadopsi pola pandang yang lebih akomodatif terhadap transisi energi.

Industri perbankan bisa saja mendukung penerapan PLTS Atap, menurutnya saat ini orang yang tertarik memasang PLTS Atap dan butuh kredit dari perbankan hanya memiliki opsi Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang tentu saja bunga pinjamannya relatif tinggi.

Padahal risiko operasional PLTS Atap, dengan pendekatan yang tepat, akan sangat rendah. Peralatan PLTS Atap dapat berfungsi minimal 10 tahun, tetapi kredit KTA biasanya memiliki jangka waktu 1 - 2 tahun.

"Di sinilah terjadi mismatch antara pasokan jasa keuangan dengan permintaan jasa keuangan terkait EBT," papar Yusrizki.


Menurutnya, jasa keuangan global pun telah lama melakukan penyesuaian terhadap sektor tenaga listrik EBT, tidak hanya dari sisi pembangkitan tetapi juga dari sisi transmisi dan distribusi. Banyak sekali varian produk jasa keuangan yang dirancang tepat guna untuk mendukung pengembangan EBT.

"Harus diakui, banyak pendanaan dari luar negeri yang menunggu tumbuhnya pasar EBT di Indonesia dan sangat disayangkan apabila perbankan nasional hanya bersifat pasif dan tidak mengembangkan skillset yang dibutuhkan untuk dapat melihat sektor ketenagalistrikan EBT sebagai portofolio investasi yang menjanjikan," kaga Yusrizki.




(hal/zlf)

Hide Ads