Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menjelaskan pandemi COVID-19 telah membuat perekonomian Indonesia tertekan. Itu bermuara pada penurunan penerimaan pajak.
Atas hal tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan fungsi pajak tidak hanya sebagai penerimaan negara, melainkan instrumen untuk menjaga dunia usaha.
Pemerintah, dijelaskannya mendesain pajak bukan semata mengambil dan mengumpulkan penerimaan negara, tapi pajak juga digunakan untuk memberikan insentif sehingga dunia dapat terus melakukan kegiatan.
"Ini kombinasi yang kita ambil secara sadar, karena kita tahu bahwa dunia usaha akan kehilangan demand. Department store, misalnya, yang biasa biasanya dibeli oleh 1.000 pelanggan, tiba-tiba hanya didatangi oleh 50-70 orang. Penerimaan yang turun mesti diberikan insentif bagi dunia usaha agar terus berlanjut karena tidak dibebani oleh pajak," kata Suahasil dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (11/11/2021).
Insentif yang diberikan pemerintah masuk ke dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), meliputi pembebasan pajak penghasilan (PPh) 21, PPh 22 impor, dan PPh 25. Memasuki tahun 2021, pemerintah bahkan menambah pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dan properti.
Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, selain memberikan insentif, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara simultan juga melakukan reformasi perpajakan bidang regulasi, salah satunya dengan melahirkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 7 Oktober 2021.
"Penyusunan UU HPP memiliki tujuan untuk memperbaiki aturan perpajakan, memperluas basis pajak, serta meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak agar tercipta penerimaan pajak berkelanjutan. Diharapkan pada tahun 2023 tingkat defisit pembiayaan kembali ke tiga persen dari produk domestik bruto (PDB), meningkatkan pertumbuhan, dan mendukung percepatan peningkatan perekonomian," jelas Suryo Utomo.
Pada kesempatannya, eks Dirjen Pajak tahun 2017-2019 Robert Pakpahan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan berada di kisaran 3,5% sampai 4,3% pada 2021. Sementara pertumbuhan ekonomi pada 2022 mendatang optimistis akan jauh lebih baik didukung dengan kinerja ekspor yang kuat, pembukaan sektor-sektor prioritas yang semakin luas yang diiringi dengan stimulus kebijakan yang berlanjut.
Direktorat Jenderal Pajak telah meluncurkan kebijakan insentif super-deduction yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2019. PP ini mengatur dua hal, pertama pengurangan penghasilan bruto bagi Wajib Pajak (WP) yang menyelenggarakan pendidikan vokasi paling tinggi 200 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Kedua, kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) dari paling tinggi 100 persen dari kegiatan yang digunakan.
"Kebijakan super-deduction ditujukan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan daya saing industri nasional, mendorong industri berbasis teknologi, serta memperceat industri manufaktur nasional agar siap menuju revolusi industri 4.0, kata Robert yang juga menjabat sebagai Senior Advisor TaxPrime.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
(toy/dna)