Polemik tentang tes PCR yang terus bergulir. Seiring dengan, muncul juga tudingan bahwa ada mafia yang bermain di bisnis tes PCR.
Sekjen Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium Indonesia (Gakeslab) Randy H. Teguh menegaskan, para pengusaha alat kesehatan dan laboratorium memahami bahwa bisnis yang dipilihnya sangat berkaitan dengan keselamatan manusia.
"Pasien itu adalah dalam kondisi yang disebut vulnerable. Artinya dia tidak bisa memilih, tidak bisa mengerti bisnis ini juga," tuturnya dalam acara diskusi yang digelar oleh Kadin Indonesia, Jumat (12/11/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan pemahaman itu, Randy yakin setiap pengusaha alat kesehatan dan laboratorium selalu mementingkan keselamatan pasien. Menurutnya hal itu yang membedakannya dengan mafia.
"Jadi yang membedakan mafia dengan profesional itu tadi, ada satu dan yang memikirkan bahwa ini buat pasien. Karena suatu saat yang akan pakai alat kita ya keluarga kita juga yang kita cintai," tambahnya.
Selain itu para pengusaha alat kesehatan dan laboratorium kata Randy juga memiliki kode etik. Termasuk kode etik dalam berinteraksi antar anggota agar tidak terjadi praktik monopoli.
"Dari sisi hukumnya pelaku usaha alat kesehatan dan lab itu memahami ini regulated base. Pengusahanya juga harus ada izin, ada sertifikat, untuk dapat itu banyak persyaratan yang harus dipenuhi," tegasnya.
Sayang Randy tidak secara gamblang menyebutkan siapa dan seperti apa pola mafia yang bermain di bisnis PCR saat ini. Namun dia tidak menepis bahwa ada mafia yang bermain dalam bisnis PCR saat ini.
Dia hanya menjelaskan, pada awal pandemi COVID-19 reagen yang khusus untuk COVID-19 hanya ada 1-2 merk. Oleh karena itu harga PCR saat itu sangat mahal.
"1-2 merek itu di awal bulan April. Lalu pada saat Oktober-November saat itu pemerintah melakukan pembatasan harga Rp 900 ribu, kami cek di Gakeslab saat itu hanya ada 5-10 merek, dan harganya kami cek masih sekitar Rp 400-500 ribu," ucapnya.