OJK Gelar Seminar Internasional Bahas Kebijakan Post COVID-19

OJK Gelar Seminar Internasional Bahas Kebijakan Post COVID-19

Erika Dyah - detikFinance
Minggu, 28 Nov 2021 22:21 WIB
OJK Gelar Seminar Internasional Bahas Kebijakan Post COVID-19
Foto: Dok. OJK
Jakarta -

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar seminar internasional guna memperoleh perspektif yang komprehensif secara global, regional maupun domestik mengenai normalisasi kebijakan pasca COVID-19. Agenda ini dikemas dalam tajuk bertemakan 'Unwinding COVID-19 Support Measures: Global and Regional Perspectives'.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso mengungkap kegiatan seminar yang diadakan pada Kamis (25/11) ini merupakan rangkaian kegiatan Satu Dasawarsa OJK dan menjadi bagian dari persiapan Indonesia di Presidensi G20 pada tahun 2022.

"Tiga kunci utama dalam persiapan menuju normalisasi kebijakan atas efek pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh otoritas fiskal, moneter dan keuangan adalah komunikasi yang memadai kepada publik untuk memperoleh pemahaman aspek vulnerability, menjaga stabilitas sistem keuangan dan ekonomi sebagai prasyarat unwinding serta kemampuan kita dalam mengukur potensi contagion effect secara global," kata Wimboh dalam keterangan tertulis, Minggu (28/11/2021).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, di masa pandemi ini para pembuat kebijakan di seluruh dunia mempertimbangkan apakah akan melanjutkan, mengubah, atau melakukan normalisasi kebijakan keuangan COVID-19.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara menyampaikan upaya pihaknya dalam menghadapi COVID-19 ini. Ia mengatakan sejak awal pandemi Kementerian Keuangan sudah bersinergi dan berkoordinasi, baik secara langsung maupun dalam konteks Komite Stabilitas Sistem Keuangan, bersama OJK, BI, dan LPS.

ADVERTISEMENT

"OJK bahkan telah lebih dahulu mengeluarkan kebijakan restrukturisasi sebelum Perpu diterbitkan. Langkah pre-emptive dan forward looking ini penting menyikapi kondisi perekonomian melalui surveillance sektor keuangan dan dunia usaha untuk merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang diberikan," sambungnya.

Lebih lanjut, Suahasil yang juga merupakan Anggota Dewan Komisioner OJK Ex-officio Kemenkeu ini menilai jika kita sudah memiliki pemahaman yang baik, maka bisa dilakukan sinergi kebijakan.

"Dari sudut pandang Pemerintah yang dimanifestasikan di dalam APBN dan respons OJK untuk sektor jasa keuangan. Tahun depan kita akan arahkan mendorong employment creation termasuk mengoptimalkan peran intermediasi sektor jasa keuangan," ujar Suahasil.

Sebagaimana diketahui, perekonomian global saat ini sedang berada pada tahap pemulihan. Sejumlah negara maju mulai melakukan pengetatan kebijakan moneter yang berujung pada normalisasi kebijakan stimulus COVID-19.

Adapun pelaksanaan normalisasi kebijakan ini tidak dapat diseragamkan secara global, mengingat setiap negara memiliki kondisi yang berbeda dalam kemampuan menangani pandemi, serta bervariasi dalam pengelolaan perekonomian dan sektor keuangannya. Diketahui, normalisasi kebijakan global berpotensi menyebabkan terjadinya limpahan lintas batas terutama dari ekonomi negara maju yang akan berdampak pada perekonomian domestik.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto turut menyampaikan pandangannya.

Seminar ini juga memuat panel diskusi dengan narasumber dari Asian Development Bank (ADB), Bank Negara Malaysia (BNM), International Monetary Fund (IMF), OJK, BI, Kementerian Keuangan, dan akademisi.

Sesi pertama seminar mengeksplorasi perspektif global, regional dan country spesific terkait normalisasi kebijakan COVID-19 dan faktor yang harus diperhatikan dalam penarikan kebijakan stimulus COVID-19.

Dalam sesi ini, IMF Senior Resident Representative for Indonesia, James P. Walsh mengungkap menurutnya berbagai institusi di Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi, yang telah dibangun dari waktu ke waktu untuk berhasil menerapkan langkah-langkah yang tidak biasa diambil selama COVID guna meletakkan dasar bagi ekonomi yang lebih kuat ke depan.

"Hal terbaik yang harus dilakukan adalah kembali ke target defisit anggaran sebagaimana yang telah direncanakan Kementerian Keuangan untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter secara bertahap seperti yang sudah dilakukan oleh Bank Indonesia dan bekerja sama dengan sistem keuangan guna menjaga kecukupan modal dan ketidakstabilan likuiditas seperti yang sudah dilakukan OJK," jelas James.

Sementara itu, dari perspektif regional, Principal Economist ADB Arif Ramayandi menekankan bahwa unwinding harus mempertimbangkan cross border spill-over. Ada juga perwakilan Bank Negara Malaysia, Mohamad Hani bin Sha'ari yang memandang bahwa normalisasi kebijakan moneter harus direncanakan dengan tepat serta mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan dukungan COVID lainnya, termasuk kebijakan fiskal.

Dari pandangan akademisi, Professor Iwan Jaya Azis dari Cornell University memaparkan tantangan dalam melaksanakan unwinding dan menekankan perlunya landasan yang kuat untuk melakukan unwinding, mengingat kebijakan yang telah dikeluarkan selama pandemi merupakan kebijakan luar biasa (extraordinary measures).

Staf Ahli Menteri Keuangan, Halim Alamsyah juga menyampaikan pandangan bahwa stimulus fiskal tetap dibutuhkan di awal ketika akan dilakukan normalisasi kebijakan. Ia pun menekankan bahwa tidak ada solusi kebijakan yang sama bagi seluruh negara, sebab sangat tergantung pada sumber daya, pertumbuhan, struktur ekonomi masing-masing negara serta respons masyarakat terhadap kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut.

Sementara itu, di sesi kedua dari seminar, para peserta seminar menggali langkah-langkah yang diambil Indonesia terkait Pandemi COVID-19 terhadap sektor keuangan. Serta bagaimana ekspektasi akan perekonomian Indonesia pasca normalisasi.

Sejumlah pandangan menyebutkan, evaluasi kebijakan dan inisiatif yang telah diambil untuk merespons pandemi saat ini sangat dibutuhkan untuk mendukung kebijakan ekonomi Indonesia di tahun 2022. Terutama dengan mempertimbangkan ketidakpastian di tahun mendatang, seperti potensi dampak tapering oleh The Fed.

Selain itu, Pemerintah Indonesia bersama para pembuat kebijakan di sektor keuangan yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga dinilai harus mempertimbangkan waktu yang tepat untuk melakukan pelonggaran terhadap kebijakan COVID-19 dengan mengantisipasi risiko yang mungkin akan terjadi, termasuk reaksi pasar, kepercayaan investor, volatilitas pasar dan pemulihan ekonomi.

Bauran kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan yang dikeluarkan melalui koordinasi KSSK selama ini disebut telah berhasil memitigasi keterpurukan perekonomian Indonesia sebagai dampak dari pandemi COVID-19.

Namun, kebijakan stimulus atau relaksasi pandemi ini juga tidak dapat berlangsung selamanya, karena berpotensi menimbulkan kerentanan pada stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pengelolaan transisi menuju normalisasi kebijakan perlu dicermati di tiap tahapannya dan secara hati-hati memperhitungkan aspek waktu, ukuran, dan urutan.

Sebagai informasi, OJK bersama dengan pemerintah dan instansi berwenang lainnya mengaku secara konsisten akan melakukan asesmen terhadap perekonomian dan sektor jasa keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah perbaikan kondisi pandemi COVID-19.


Hide Ads