Pupuk Subsidi Langka, Ulah Mafia?

Aulia Damayanti - detikFinance
Rabu, 02 Feb 2022 17:09 WIB
Ilustrasi Pupuk (Foto: Dokumen Istimewa)
Jakarta -

Guru Besar Fakultas Pertanian yang juga Direktur Inovasi, Korporasi Akademik, dan Usaha Universitas Padjadjaran, Tualar Simarmata mengungkapkan pemicu utama kelangkaan pupuk subsidi. Menurutnya, kelangkaan yang terjadi belakangan ini paling tidak dipicu oleh dua faktor.

Pertama adalah faktor rendahnya anggaran pupuk subsidi dari pemerintah dibandingkan dengan kebutuhan yang diusulkan petani. Ia mencontohkan pada tahun 2020 terdapat sekitar 13,9 juta petani yang mengusulkan kebutuhan pupuk dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Pada saat itu, kebutuhan yang diusulkan mencapai 26,2 juta ton. Namun, alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sebesar 8,9 juta ton.

"Menurut pandangan saya, problemnya sekarang di pemerintah bukan hanya soal tata kelola, tetapi juga soal kemampuannya juga. Kebutuhan subsidi pupuk dari petani besar. Tapi kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan persediaannya tidak sampai setengahnya, hanya sekitar 35 persen. Jadi pasti ada kelangkaan," kata Tualar kepada wartawan, Senin (31/1/2022).

"Coba kita hitung, kebutuhan ataupun pengajuan dari petani 100 persen, sementara yang bisa dipenuhi pemerintah hanya 35 persen. Maka, di situ kan jelas tidak sebanding antara demand dan supply, permintaan dan penawaran. Kalau saja pemerintah memenuhi semua demand, pasti tidak akan masalah kelangkaan," jelasnya.

Hal yang sama juga ketika dilihat dari nominal anggaran yang dikucurkan pemerintah yang sangat jomplang, di mana usulan pupuk subsidi dari petani mencapai Rp 69,2 triliun. Sementara nominal yang disetujui oleh pemerintah hanya sebesar Rp 29,7 triliun.

"Karena itu, pertanyaannya adalah kalau kita melakukan subsidi itu kan perlu dikaji apakah subsidi pupuknya yang disubsidi atau kita perlu mencari mekanisme lain, sehingga lebih meringankan," jelasnya.

Faktor kedua yang menyebabkan kelangkaan pupuk subsidi kata Prof Tualar, adalah masih maraknya mafia pupuk. Mereka mempermainkan dan mengambil keuntungan besar dari subsidi pupuk tersebut untuk keuntungan pribadi.

Mafia pupuk ini muncul karena besarnya perbedaan harga pupuk subsidi (HET: Harga Eceran Tertinggi) dibandingkan harga komersil. Ia mencontohkan HET Urea sebesar Rp.2.250/kg. Sementara harga domestik komersil saat ini Rp. 9.300 sampai dengan Rp 10.000 /kg. Belum lagi jika dibandingkan dengan harga Urea internasional di mana pada saat yang sama berkisar di harga Rp.14.300.

"Perbedaan ini tentu mendorong oknum yang tidak bermoral untuk mencari peluang mengambil keuntungan lebih dari kantong petani kecil," jelasnya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.




(dna/dna)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork