Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja marah besar. Kemarahan itu muncul karena belanja barang dan jasa pemerintah masih dibanjiri barang impor. Saking jengkelnya, Jokowi sampai keceplosan bilang bodoh dua kali.
Menurut Jokowi, anggaran belanja pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sangat besar seharusnya dibelanjakan produk dalam negeri.
Dia memaparkan di kementerian dan lembaga pusat pemerintah saja ada anggaran belanja pengadaan barang dan jasa besarnya sampai Rp 526 triliun. Sementara itu di pemerintah tingkat daerah sebesar Rp 535 triliun, lalu di BUMN mencapai Rp 420 triliun. Namun, dari segitu banyak anggaran masih banyak yang dibelikan barang impor.
"Cek yang terjadi, sedih saya. Belinya barang-barang impor semuanya. Ini duit guede banget, besar sekali," ujar Jokowi saat memberikan arahan di acara Afirmasi Bangga Buatan Indonesia, Jumat (25/3/2022).
Menurutnya beberapa barang yang diimpor, mulai dari seragam TNI-Polri, alat dan mesin pertanian, alat kesehatan, perkakas rumah sakit, perkakas sekolah, hingga perkakas kantor.
"Menurutnya mulai dari sekarang pembelian produk impor harus dihentikan, dan anggaran pengadaan barang dan jasa diarahkan untuk membeli produk lokal. Sangat bodoh menurutnya, bila hal itu tak kunjung dilakukan.
"Kok nggak kita lakukan? Bodoh sekali kita, kalau nggak lakukan ini. Malah beli barang impor. Mau diteruskan? Ndak! Ndak bisa," tegas Jokowi.
Lalu, apa sebenarnya biang kerok impor yang bikin Jokowi marah besar? Berikut ini 3 faktanya:
1. Masalah Klasik
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan masalah impor yang bikin Jokowi marah besar sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan menurutnya biang keroknya pun tetap sama dan tak kunjung ada perbaikan.
Bhima menjelaskan masalah klasik itu adalah standardisasi pengadaan barang yang lebih pro terhadap produk impor. Ujungnya, produk lokal terpinggirkan karena kualitas produknya tak sesuai dengan standardisasi yang ada.
"Dari dulu masalahnya sama dan tidak ada perbaikan yang signifikan soal pengadaan barang dan jasa. Mulai dari standarisasi barang lebih pro terhadap produk impor. Alasannya klasik, produsen lokal apalagi UMKM dianggap tidak memiliki kualitas yang sesuai kriteria," ungkap Bhima kepada detikcom, Minggu (27/3/2022).
Menurutnya, pemerintah saat ini seharusnya memberikan lebih banyak pendampingan dan bantuan kepada pelaku usaha lokal untuk memenuhi standardisasi yang dibuat.
Termasuk juga Presiden Jokowi, daripada mengulang kemarahannya di tahun 2019 lebih baik menginstruksikan jajarannya untuk membuat standardisasi lebih mudah bagi produk lokal.
"Pak presiden sepertinya hanya mengulang masalah yang lama. Tahun 2019 juga bicara soal cangkul impor," ujar Bhima.
Di sisi lain, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan masalah terjadi pada pengawasan pembelian barang dan jasa di LKPP. Menurutnya, aturan pengadaan barang dan jasa sudah mencakup pembagian antara produk lokal dan impor.
Namun, kalau keluhan soal banyaknya produk impor keluar dari Presiden Joko Widodo artinya ada yang tidak beres dalam pelaksanaan aturan tersebut. Trubus menduga LKPP lemah dalam pengawasan, sehingga masih banyak barang impor yang dibeli lembaga pemerintah.
"Kalau memang itu ada berarti LKPP ini lemah pengawasan. Kurangnya cross check, jadi ada kebocoran itu terjadi," ungkap Trubus kepada detikcom.
Soal impor sendiri, Trubus bilang sebenarnya boleh saja dilakukan. Hal itu bisa dilakukan bila produk yang dibutuhkan tak bisa diproduksi di dalam negeri. Tapi, kalau dilihat barang-barang yang dikeluhkan Jokowi masih diimpor sudah bisa diproduksi di Indonesia.
"Setahu saya sih kalau memang nggak ada di Indonesia ya, boleh-boleh saja. Cuma itu yang disebutkan Presiden kan ada semuanya ya, seperti sepatu seragam, dan lain-lain. Memang semua produk Indonesia," ungkap Trubus.
Ada pemburu rente hingga jumlah impor yang sangat besar. Baca di halaman berikutnya.
(hal/das)