Suripno dari Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) juga mempertanyakan soal siapa yang sebenarnya yang bertanggung jawab menetapkan kelas jalan itu. Karena menurutnya, sesuai undang-undang, yang menetapkan kelas jalan itu adalah Menteri PUPR. Tapi, lanjutnya, tidak ada kata-kata yang menjelaskan bahwa yang ditetapkan itu untuk membangun jalannya atau untuk pelarangan penggunaan jalannya juga.
"Akibatnya, terjadinya masalah sampai sekarang, di mana PU menetapkan kelasnya dan Menteri Perhubungan yang harus menetapkan larangan penggunaan berdasarkan kelas jalannya. Tapi, ini juga tidak dijalankan. Akhirnya, yang terjadi adalah akan sulit mencari jalan yang sudah punya kelasnya. Itu sama dengan mencari jarum dalam jerami sulitnya," ujarnya.
Jadi, kata Suripno, seharusnya ada pertemuan antara Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan untuk membahas hal ini. Misalnya, PU ditetapkan harus di kelas berapa supaya Menteri Perhubungan membuat aturan larangannya. "Ini kan belum dilakukan," katanya.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Indonesia (IPKBI), Dwi Wahyono Syamhudi, bahkan mengakui bahwa dari aspek pengujian kendaraannya lebih membingungkan lagi. Hal itu disebabkan pengujian kendaraan itu selalu menetapkan daya angkut itu berdasarkan kelas jalan terendah yang boleh dilalui.
"Sekarang kalau kelas jalannya nggak ada karena tidak ada rambu juga. Terus, bagaimana mengatakan bahwa truk itu overload atau tidak, kalau kelas jalannya saja nggak ada," tukasnya.
Yang perlu dipertimbangkan juga menurut Dwi adalah keberadaan terminal handling atau barang sebagai hub untuk berpindah dari kelas jalan yang satu ke kelas jalan yang lain.
"Sekarang, hubnya itu nggak ada. Dan saya belum dengar kalau pemerintah ingin membangun terminal sebagai hub," tuturnya.
Jadi, kata Dwi, tanpa adanya hub atau terminal barang, pasti akan selalu ada pelanggaran kelas jalan. Kenapa?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Truk-truk yang besar-besar itu kalau dia masuk ke dalam kelas 2, pasti melanggar. Karena panjangnya trailernya saja sudah 18 meter, sedangkan kelas 2 hanya boleh 12 meter. Kalau lagi masuk kelas 3 dari jalan industri seperti di Sukabumi dan sebagainya, itu trailer juga masuk dan sudah pasti melanggar," ungkapnya.
"Jadi, memang tidak mudah untuk menerapkan Zero ODOL. Kita harus benahi semua permasalahan itu dulu secara simultan. Seluruh komponen transportasi itu dibenahi sedemikian rupa, sehingga pada saat dilakukan penertiban ODOL, pelanggaran muatan itu bisa dilakukan dengan baik dan dan selaras. Ini masukan ke pemerintah supaya nanti ke depan kita sama-sama pikirkan, seluruh unsur-unsur atau komponen-komponen yang membentuk transportasi itu bisa kita benahi secara simultan," katanya.
(hal/dna)