Selama ribuan tahun, wilayah di sekitar Antakya, Provinsi Hatay selatan Turki telah menjadi peradaban besar petani. Namun, melemahnya mata uang Turki, Lira selama 12 bulan terakhir ditambah lonjakan harga komoditas global memberikan dampak ke setengah juta petani Turki.
"Ini adalah waktu tersulit yang pernah saya lihat," kata Mehmet Muzaffer Okay, Kepala Kamar Pertanian Antakya dikutip dari Financial Times, Sabtu (7/5/2022).
Sektor pertanian merupakan andalan ekonomi Turki dengan menghasilkan hampir 7% dari produk domestik bruto (PDB) dan Hatay merupakan penghasil utama serangkaian bahan pokok seperti lobak, peterseli, dan jeruk.
Okay mengatakan bahwa 25 ribu anggota asosiasinya sedang menghadapi masalah kenaikan biaya dan meningkatnya utang. Melonjaknya biaya produksi pertanian menjadi pendorong kenaikan tajam harga pangan Turki.
Inflasi harga konsumen utama Turki meliputi energi, transportasi, pakaian, dan biaya lainnya serta makanan mencapai 68% secara tahunan.
Petani bawang, Mahmut Çam menjelaskan dampak dari penurunan mata uang Lira membuatnya menghabiskan sekitar 3.000 lira atau setara Rp 2,91 juta (kurs Rp 970) untuk mengisi lima traktornya dengan solar setahun yang lalu.
Namun kini harganya sudah mendekati 13.000 lira atau Rp 12,61 juta. Selain itu, dia juga mengatakan harga pupuk dan pestisida naik empat kali lipat.
"Kalau barang-barang ini murah, kami bisa menjual produk kami dengan harga murah dan masyarakat juga bisa mendapatkan makanan yang terjangkau. Ketika harganya mahal, produksi akan sedikit dan makanan akan lebih mahal." kata Çam yang juga menanam kentang.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
(ara/ara)