Jokowi Serukan Damai, Putin Tawarkan Bangun IKN hingga Nuklir

Jokowi Serukan Damai, Putin Tawarkan Bangun IKN hingga Nuklir

Sudrajat - detikFinance
Senin, 04 Jul 2022 08:15 WIB
Jokowi bertemu Putin di Kremlin
Presiden Jokowi bertemu Presiden Putin di Kremlin/Foto: Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden
Jakarta -

Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Perumpamaan itu bisa menggambarkan langkah diplomasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat bertemu Zelensky dan Putin. Tema besarnya memang menyerukan perdamaian Ukraina dan Rusia. Meminta agar kedua pemimpin membuka ruang dialog untuk mengakhiri peperangan.

Sebab peperangan yang telah berlangsung lebih dari empat bulan itu telah berimbas nyata ke mancanegara. Harga minyak dan gas dunia melambung. Begitu juga dengan sejumlah bahan pangan akibat langkanya pasokan ke pasar dunia.

Karena itu saat bertemu Putin di Istana Kremlin, 30 Juni, Jokowi tak cuma bicara soal perdamaian dan pentingnya ruang dialog. Dia juga meminta pengertian agar masalah pangan menjadi perhatian koleganya itu. Sebab imbas peperangan dengan Ukraina, bukan cuma masyarakat kedua negara yang menderita, warga di banyak negara lain pun ikut sengsara. Putin setuju. Dia siap menjamin keamanan untuk pasokan pangan dan pupuk, baik dari Rusia maupun dari Ukraina.

Putin juga akan membuka jalur pasok bahan pangan di Ukraina, terutama untuk jalur laut. "Khusus untuk jalur ekspor produk pangan Ukraina, terutama melalui jalur laut, Presiden Putin sudah memberikan jaminannya," kata Jokowi dalam konferensi pers bersama Putin seperti diunggah melalui Instagram @Jokowi, Jumat (1/7/2022).

Tak cuma itu. Khusus kepada Indonesia, Putin malah menawarkan sejumlah kerja sama ekonomi. Dia ingin negerinya dilibatkan dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur hingga pembangunan teknologi nuklir. Guna memperkuat tawarannya itu, Putin mengingatkan peran negerinya di masa lalu dalam mendukung kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemesraan Sukarno - Kruschev

Menilik catatan sejarah, Uni Soviet yang diinduki Rusia pada 1948 secara de facto mengakui kemerdekaan RI. Pada 1950, Uni Soviet membuka hubungan diplomasi dengan Indonesia dan sebagai negara berpengaruh di PBB, Uni Soviet mendukung Indonesia masuk sebagai anggota PBB. Setelah Josef Stalin mangkat pada Maret 1953 lalu digantikan Nikita Kruschev, hubungan Rusia dengan RI makin lengket. Presiden Sukarno tercatat empat kali berkunjung ke Soviet: 1956, 1959, 1961, dan 1964. Sementara Kruschev ke Indonesia pada 18 Februari 1960, menggunakan pesawat Iliyushin 18. Selama 12 hari, ia bersama 89 wartawan cetak, radio, dan televisi dia berkunjung ke Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.

Sebelumnya, Kruschev menyokong Bung Karno yang ingin membangun Monas pada 1954. Begitu pun saat si Bung membangun Masjid Istiqlal, pada 1957 Soviet mengutus grup sirkus kenamaan negeri itu untuk menggalang donasi. Kliping koran yang dipamerkan saat milad Mesjid Istiqlal ke-39, Februari 2017, menyebutkan mereka menggelar pertunjukan di Jakarta dan Bandung.

ADVERTISEMENT

Ketika Bung Karno ingin membangun Gelora seperti Stadion Luzhniki di Moskow, Soviet pun menggelontorkan bantuan senilai $12,5 juta pada 1959. Setahun berikutnya, Soviet mengucurkan bantuan ekonomi senilai US$ 250 juta untuk membangun berbagai pabrik, pembangkit listrik, kapal, sekolah kelautan di Ambon, hingga RS Persahabatan di Rawamangun. Bantuan paling fantastis diberikan pada 1961 dalam bentuk pengadaan berbagai peralatan militer untuk merebut kembali Papua dari Belanda. Total bantuan militer kala itu mencapai US$ 600 juta.

Lanjutkan membaca ke halaman berikutnya

Sayang, dalam pelajaran sejarah Indonesia di era Orde Baru, Uni Soviet lebih ditekankan sebagai pendukung Peristiwa Madiun 1948. Salah seorang tokoh pemberontakan itu adalah Paul Mussotte alias Muso Manowar atau Munawar Muso yang pernah tinggal di Rusia dan dianggap sebagai pemimpin Soviet Madiun. Akibatnya, peran Rusia terhadap kemerdekaan republik ini tak diingat kebanyakan rakyat Indonesia. Hal yang terlanjur terekam kuat adalah bahwa komunis jahat dan negara komunis seperti Soviet sama saja dengan Belanda yang ingin menguasai Indonesia.

Sejak kebijakan Perestroika dan Glasnot yang diprakarsai Mikail Gorbachev di pengujung 1980-an, praktis Rusia bukan lagi negara dengan ideologi komunis. Partai yang berkuasa saat ini, menurut Dubes RI untuk Rusia, 2016-2020, M. Wahid Supriyadi, Partai yang berkuasa saat ini adalah United Russia yang dibidani Putin. Dari total 450 kursi di parlemen, jatah partai komunis cuma 10 persen

"Mayoritas orang Rusia beragama Kristen Ortodoks, dan Islam menjadi agama kedua terbesar dengan jumlah pemeluk 24 juta atau 14% dari total penduduk," tulis Wahid dalam buku "Diplomasi Ringan dan Lucu". Bila pada 1991 di era Boris Yeltsin hanya ada sekitar 840 masjid, ia menambahkan, kini terdapat lebih dari 8000 masjid di Rusia.

Kembali ke misi damai Jokowi, tentu ada yang pesimistis, skeptis, bahkan sinis menilainya. Meski demikian, apa yang dilakukan Jokowi adalah awal yang baik, sekaligus membuka jalur komunikasi baru dan menimbulkan harapan. Sebab yang sebelumnya dirintis Sekjen PBB dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sepertinya tersendat. Maklum, bagi Putin sepertinya perdamaian hanya dimungkinkan bila Zelensky takluk dan Ukraina bisa dikuasai.



Simak Video "Video: Gaya Gibran Tinjau Istana Wapres Hingga Tanam Pohon di IKN"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads