Namun seiring berjalannya waktu, Mahinda mulai menunjukkan kecenderungan otoriter. Setelah terpilih kembali pada 2010, ia menunjuk tidak hanya Gotabaya tetapi juga anggota keluarga lainnya untuk jabatan penting pemerintah. Dia juga meminta investasi dari China untuk membangun pelabuhan dan bandara di kampung halamannya di Hambantota.
Namun, pada 2015 ia gagal mengamankan masa jabatan ketiga sebagai presiden, karena banyak pemilih muak dengan nepotisme dan korupsi di pemerintahannya serta ketergantungan berlebihan Sri Lanka pada China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tetapi serangan teroris pada 2019 membawa keluarga Rajapaksa kembali berkuasa. Karena amandemen konstitusi melarang Mahinda mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga sebagai presiden, Gotabaya malah mencalonkan diri dan memenangkan kursi kepresidenan.
Gotabaya kemudian menunjuk Mahinda perdana menteri dan menunjuk anggota keluarga lainnya untuk jabatan kementerian utama seperti keuangan, irigasi, dan pemuda dan olahraga. Banyak ahli mengatakan kedua saudara Rajapaksa membuat kesalahan serius yang berkontribusi pada krisis saat ini.
Mahinda melakukan kesalahan dengan mendorong proyek-proyek infrastruktur yang sia-sia dengan nilai ekonomi yang kecil. Memang benar, Sri Lanka sangat membutuhkan pelabuhan dan bandara setelah konflik sipil yang panjang, tetapi hanya ada sedikit permintaan untuk pelabuhan Hambantota.
Sejak selesai pada 2010, sebagian besar digunakan untuk membongkar kendaraan bekas. Bandara Internasional Mattala Rajapaksa yang dibuka pada 2013 bahkan disindir sebagai bandara terkosong di dunia karena sedikitnya maskapai yang menggunakannya.
Masalah Gotabaya berikutnya adalah memilih kebijakan populis daripada reformasi yang menyakitkan tetapi perlu dilakukan. Selama hampir empat tahun sejak 2016 ketika keluarga Rajapaksa tidak berkuasa, Sri Lanka mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan dan memperkuat basis fiskalnya dengan imbalan fasilitas pinjaman IMF sebesar US$ 1,5 miliar.
Gotabaya, yang menjabat pada 2019, membalikkan kebijakan itu dengan mempromosikan pemotongan pajak, yang menyebabkan pendapatan pemerintah turun 500 miliar rupee Sri Lanka (US$ 1,36 miliar).
Gotabaya juga melarang impor pupuk kimia untuk mempromosikan pertanian organik yang berdampak pada hancurnya panen teh dan beras yang penting di negara itu. Selain itu, dia lambat mencari dukungan IMF untuk mengatasi krisis saat ini karena takut diminta menaikkan pajak.
Kini, Sri Lanka dalam keadaan bangkrut karena gagal memenuhi pembayaran utang. Negara ini tidak punya pilihan selain melakukan reformasi struktural dan restrukturisasi utang di bawah program IMF, sambil memanfaatkan World Bank, India, Cina dan sumber lain untuk pinjaman.
Inflasi yang tinggi juga menjadi masalah besar Sri Lanka. Dikutip dari Reuters, Sri Lanka telah menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam dua dekade pada Kamis lalu. Langkah tersebut diambil untuk mencegah inflasi yang tak terkendali dan menghindari pukulan ekonomi yang lebih dalam.
Bank sentral Sri Lanka meningkatkan suku bunga pinjaman sebesar 100 basis poin menjadi 15,50%. Sementara, fasilitas simpanan naik menjadi 14,50%, tertinggi sejak Agustus 2001.
Inflasi Sri Lanka secara tahun ke tahun telah menyentuh 54,6% di bulan Juni. Gubernur Bank Sentral P Nandalal Weerasinghe mengatakan inflasi bisa mencapai 70%.
"Kami akan bekerja untuk mengelola inflasi sebanyak mungkin tetapi langkah-langkah lain seperti transfer tunai juga akan diperlukan untuk memberikan bantuan kepada orang miskin," katanya.
(acd/ara)