Sri Lanka telah dinyatakan bangkrut. Hal itu terjadi karena negara tersebut tak bisa memenuhi kewajiban utangnya.
Persoalan utang memang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Posisi utang pemerintah Indonesia per Mei 2022 mencapai Rp 7.002 triliun atau 38,88% dari produk domestik bruto (PDB).
Dengan utang sebesar itu, apakah Indonesia bakal senasib dengan Sri Lanka?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, Indonesia belum mengarah pada situasi seperti Sri Lanka. Sebab, dari sisi cadangan devisa masih baik sejalan dengan baiknya perdagangan internasional.
"Saya kira kalau misalnya situasi sekarang belum terlalu. Karena ekspornya masih jalan, kecuali defisit kita udah agak lumayan besar, nah itu bahaya. Sekarang kan masih surplus, devisanya bertahan," katanya kepada detikcom, Senin (11/6/2022).
"Tapi kalau nanti defisit dan defisit dalam setahun nggak bisa balik ataupun terlalu tinggi, maka itu yang berbahaya. Devisa bisa habis karena pintu ekspor impor, pariwisata, itu baru takutnya gagal bayar di situ," tambahnya.
Namun begitu, dia mengatakan, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. Sebutnya, dengan rasio hampir 40% punya kemungkinan bisa bertambah jika tidak ada peningkatan penerimaan negara.
"Kalau misalkan tidak ada peningkatan di penerimaan negara, utang bayar utang, semakin lama bisa tembus di atas level psikologis," katanya.
Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan, utang pemerintah masih aman. Dia menilai, Indonesia merupakan negara yang terkenal disiplin menjaga utangnya.
"Utang kita dengan rasio sekarang ini sekitar 40% terhadap PDB itu dalam kondisi yang aman. Kondisi yang sangat berhati-hati. Dan Indonesia sangat terkenal, sangat disiplin menjaga kondisi utangnya," ujarnya.
Apalagi, kata dia, Indonesia terus menjaga level defisit anggarannya di angka 3%.
"Setiap tahun defisit APBN kita itu dijaga tidak pernah lewat dari 3%. Waktu 2020, 2021, tahun 2022 defisit kita dicatat 3%, itu pun dijaga tidak jauh dari 3%. Sangat berbeda dengan negara-negara lain ketika pandemi mengalami lonjakan defisit yang sangat besar di atas 10%," katanya.
(acd/zlf)