Jalur Pantai Utara (Pantura) telah meredup kejayaannya. Dahulu, ekonomi di jalan panjang yang menghubungkan daerah-daerah di utara pulau Jawa ini menggeliat
Pantura telah dibangun sejak zaman kolonial Belanda. Jalur itu awalnya diinisiasi pembangunannya oleh Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda di awal 1800-an.
Daendels ingin menyambungkan sisi barat hingga timur Pulau Jawa lewat satu jalan darat yang panjang. Tersambung lah Jalan Anyer-Panarukan yang konon katanya dibangun dengan jerih payah kerja paksa masyarakat Jawa. Jalan ini pernah dikenal sebagai Jalan Raya Pos. Hingga di tahun 1980-an jalur ini tenar disebut sebagai Jalur Pantura alias Pantai Utara Jawa.
Jalur Pantura pernah jadi jalan utama transportasi di Pulau Jawa bertahun lamanya. Kendaraan barang, bus penumpang, hingga kendaraan pribadi tumpah ruah di Pantura. Seiring dengan itu, kawasan di sekitar Pantura pun ikut bertumbuh subur ekonominya.
Namun, kejayaan Pantura redup semenjak hadirnya jaringan tol Trans Jawa yang menghubungkan Jakarta hingga Surabaya. Jumlah kendaraan lalu lalang menurun drastis di Pantura. Mereka bermigrasi ke jalan tol. Kawasan yang dulu ramai itu pun perlahan-lahan menjelma jadi bak kota mati.
Tim detikcom pun mencoba menelusuri Jalur Pantura untuk mengetahui kondisi sebenarnya kawasan ini. Perjalanan dilakukan hari Selasa 12 Juli 2022 kemarin, dimulai dari kawasan Cikampek hingga berhenti di Brebes dalam waktu sehari.
Di sekitar kawasan Cikampek nampak situasi masih normal saja. Masih banyak kendaraan lalu lalang. Mulai dari sepeda motor, mobil pribadi, beberapa angkutan minibus omprengan, hingga kendaraan barang.
Kehidupan di kanan kiri jalan pun nampak bergeliat. Masih banyak warung makan atau sekedar penjual makanan gerobakan yang muncul. Apalagi ada beberapa pabrik kecil yang ada di kanan kiri jalan.
Kondisi berbeda mulai terlihat saat masuk ke daerah Subang, tepatnya di sekitar wilayah Kecamatan Camiang hingga Patokbeusi. Intensitas kendaraan mulai berkurang. Kehidupan dan aktivitas masyarakat di kanan kiri jalan pun tak seramai di Cikampek.
Di kawasan ini tim detikcom juga menemui jejeran warung yang menyediakan karaoke, bentuknya seperti rumah biasa yang kemudian disulap jadi tempat nongkrong kecil-kecilan. Kebetulan saat itu perjalanan dilakukan di pagi hari jadi tak terlihat ada hiruk pikuk di kawasan tersebut. Warung-warung itu nampak masih tutup, dan malah memberikan kesan seperti kota mati karena tak ada aktivitas sama sekali.
Di sekitar Camiang dan Patokbeusi ini juga tim detikcom pertama kali menemukan adanya restoran yang tutup. Bahkan, saat ini bangunan bekas restoran itu ditinggalkan begitu saja dan tidak terawat.
Lanjut ke halaman berikutnya
Simak Video "Video: Banjir Rendam Jalur Pantura di Cirebon, Lalin Macet Sampai 1 Km"
(hal/zlf)