Selain Apen, masih ada Herman yang juga bertahan hidup di sisa-sisa kejayaan Pantura. Lelaki paruh baya ini memiliki warung kecil-kecilan di daerah Patokbeusi, Subang. Herman menjajakan suguhan mie ayam sederhana, minuman dingin, kopi, hingga layanan hiburan berupa karaoke. 'Mie Karaoke', begitu lah Herman menamakan warung kecilnya itu.
Usahanya itu sudah berjalan sejak tahun 1999. Warungnya berbentuk bangunan semi permanen dengan mayoritas material kayu. Letaknya persis di pinggir jalan Pantura. Dia mengaku tanah yang digunakan adalah tanah garapan, jadi ada risiko warungnya bisa digusur pemerintah.
Meski begitu, Herman tetap menggantungkan hidupnya dari warung tersebut. Namun, saat ini warungnya tak lagi memberikan keuntungan yang besar. Pendapatannya anjlok ketika Jalur Pantura ditinggal penggunanya ke jalan tol Trans Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ya kurang lah pemasukan sekarang mah. Untuk sekarang ini mah ya asal bertahan hidup aja buat makan aja," kata Herman saat berbincang dengan detikcom di warungnya.
Omzet Herman turun pesat sejak ada Tol Trans Jawa. Dia mengatakan apabila dulu seharinya bisa mendulang Rp 2-3 juta dari semua usahanya itu, saat ini angka ratusan ribu pun susah sekali didapatkan.
"Sekarang mah nggak bisa janjiin. Saya paling Rp 500.000 sehari kalau ada yang mau karaoke. Kalau nggak ya di bawah itu aja," sebut Herman.
![]() |
Menurutnya, jalan Pantura makin sepi. Apalagi ditambah dengan kondisi sekarang di saat ekonomi sedang sulit dihantam pandemi. Selama ini pun banyak pelanggannya yang tak lagi berkaraoke di tempatnya.
Pelanggan-pelanggan yang mayoritas didapatkan dari sopir truk atau angkutan lainnya kini sedang mengalami kesulitan ekonomi. Padahal, kontribusi pendapatan dari layanan karaoke sangat besar pada usaha milik Herman.
"Ya ekonomi sulit, mereka juga daripada hiburan, dapat uang sedikit buat keluarganya paling," ujar Herman.
Untuk usaha mie ayam dan warung kopi kecil-kecilannya pun saat ini sepi. Dulu, masih banyak orang yang singgah saat Jalur Pantura jadi jalan utama untuk perjalanan di Pulau Jawa. Bahkan, kalau musim mudik Herman bisa mendulang untung berkali-kali lipat.
Dalam seminggu saja, duit Rp 10 juta lebih bisa dikantongi Herman saat musim mudik. Saat ini musim mudik pun tak menghasilkan banyak keuntungan, memang ada kenaikan namun tak signifikan.
"Kalau dulu sebelum tol, lumayan satu minggu Rp 10 juta bersih. Layanin orang mudikan aja. Makan ke sini minum ke sini. Sekarang mah biar orang mudikan juga nggak ada duitnya. Naik dikit-dikit aja pendapatan saya," ujar Herman.
Untuk menambah pundi-pundi pendapatannya, kadang kala Herman juga jadi sopir. Kebetulan dia punya mobil losbak. Apapun dia angkut di mobilnya sesuai permintaan. Kadang barang, pernah juga dipakai angkut penumpang. Di warungnya pun dia pasangkan poster kecil bertuliskan 'Terima Jasa Angkut'.
Sudah susah, usaha Herman juga harus berhadapan pungutan liar kelas ormas. Katanya, pungutan-pungutan semacam ini bisa bikin usahanya tekor. Bayangkan saja, pungutan dilakukan dari jangka waktu harian, mingguan, hingga bulanan.
Setiap bulan akan ada yang menagih Herman dengan nominal Rp 100.000. Kemudian setiap minggu ada lagi pungutan sebesar Rp 50.000. Kadang-kadang, ada juga pungutan harian sebesar Rp 10.000.
"Jangankan bayar pungutan, orang makan aja susah jualan susah," keluh Herman.
Di samping warung Herman masih banyak berderet lapak semacam Herman, warung kecil plus layanan karaoke. Namun kata Herman, lapak-lapak itu sudah mulai banyak yang tutup. Entah data dari mana, dia bilang ada 50% warung semacam miliknya tutup.
Buka halaman selanjutnya.