Masalah berikutnya adalah keamanan dan kesehatan pekerja. Apalagi pekerja yang rumahnya lumayan jauh dari pusat Jakarta alias di kawasan pinggiran Jakarta.
Menurut Nurjaman, cuma 30% saja masyarakat di Jakarta yang bekerja di kota tempat tinggalnya. Sementara itu, 70% orang yang 'ngantor' di Jakarta berasal dari kawasan penyangga. Mulai dari Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Karawang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Belum keamanannya, kan karyawan ini banyak perempuan, rawan kan kalau pulang larut. Lalu dikhawatirkan juga kesehatan karyawan, kalau dia bawa motor misalnya pulang malam, kan harus diperhatikan kesehatan karyawan juga," jelas Nurjaman.
Di sisi lain, usulan soal jam kerja kantoran diundur lebih siang sebelumnya sudah ditolak mentah-mentah oleh konsultan properti. Associate Director Knight Frank Indonesia Andi Rina Martianti menilai memundurkan jam kerja pegawai kantoran merupakan hal yang sangat sulit.
Rina menyampaikan dari sisi occupiers alias perusahaan-perusahaan penyewa lahan kantor pasti akan menolak usulan ini karena membuat ongkos layanan kantor makin tinggi.
Menurutnya, apabila jam kerja harus mundur artinya pekerja kantoran akan pulang lebih malam. Nah biaya pelayanan di gedung-gedung perkantoran akan makin mahal ongkosnya apabila beroperasi di atas jam 6 sore.
Jatuhnya, biaya yang dibebankan adalah ongkos overtime yang lebih mahal. Mulai dari penggunaan listrik hingga AC pun akan makin mahal, menurut Rina hal ini pasti akan dikeluhkan para occupiers.
"Kalau dilihat dari sisi occupiers, masalahnya adalah untuk biaya pasti akan lebih tinggi. Karena biasanya setelah jam 6 sore itu, itu akan berlaku biaya overtime baik listrik dan AC, dan setelah jam 6 itu biaya listrik bakal lebih tinggi," papar Rina dalam paparan virtual Property Market Review Knight Frank semester I-2022, Kamis (11/8/2022).
"Menurut saya nggak akan mudah diterapkan (jam kerja dimundurkan), karena biaya pelayanannya akan sangat jauh lebih tinggi," lanjutnya.
(hal/ara)