Soal perjalanan bisnisnya, Inri mengatakan, ini merupakan cerita yang panjang dan penuh kenangan serta perjuangan. Ia ingat pertama kali merantau dari Bogor ke Jakarta bersama sang ayah pada 2004 untuk membuka toko kelontong di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Untuk modal, ayah Inri menjual sepeda motornya seharga Rp6 juta. Uang hasil penjualan sepeda motor ini yang digunakan untuk membuka toko itu.
Setelah dua tahun berjalan, usaha toko kelontong berjalan lancar. Perekonomian keluarga juga membaik. Dari situ, kata Inri, sang ayah bisa kembali membeli sepeda motor secara kredit serta memboyong ibu dan adik Inri ke Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tahun 2009, kami beli tanah 40-50 meter, kemudian dibangun. Harganya waktu itu sekitar Rp 60 juta sampai Rp 70 juta. Tahun 2010, saya lulus SMA, kebetulan sempat cari kerja sana-sini, dan jadi supir pribadi pejabat eselon 2. Jadi bapak-ibu fokus di toko, saya bekerja sebagai sopir pribadi," jelas Inri.
Seiring berjalannya waktu, ayah dan ibu Inri memutuskan kembali ke Bogor dan membangun usaha di sana. Inri tetap meneruskan usaha toko kelontong orangtuanya di Lubang Buaya. Akan tetapi, ada beban kredit di bank yang ditinggalkan sang ayah. Ia pun berusaha melunasi utang-utang tersebut hingga tahun 2014.
"Jadi baru bisa menikmati hidup itu tahun 2014. Tahun 2015, saya memberanikan diri membeli mobil," kata Inri. Dengan mobil yang dibelinya secara kredit, beban keuangan terasa berat bagi Inri karena harus menyisihkan biaya kebutuhan sekolah adiknya dan membayar kontrakan.
Untuk itu, Inri pun sempat menjadi driver transportasi online selama setahun. Pada akhirnya, ia memilih untuk menjual mobil tersebut dan menggunakan uang hasil penjualan mobil untuk membeli tanah seluas 50 meter di Bogor. Usaha toko kelontong di Bogor itu masih berjalan hingga sekarang. Tak hanya satu, Inri memiliki tiga toko kelontong di Kota Hujan itu, berkat perjuangan belasan tahun merintis dan mengembangkan usahanya.
(kil/dna)