Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan salah satu penopang perekonomian nasional. Karena itu pelaku usaha juga harus mengutamakan identitas dan legalitas untuk perkembangan usaha agar mudah mendapatkan izin Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal (SJPH) dan akses permodalan.
Hal ini sudah diterapkan oleh seorang pelaku UMKM Inri Lesmana dan dia telah mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB) dari Presiden pada bulan Juli lalu. Dia mengharapkan dengan adanya NIB, para pelaku UMKM akan lebih mudah mendapatkan pinjaman dari bank, seperti disampaikan Presiden Jokowi.
Inri mengungkapkan UMKM juga bisa bergabung dengan komunitas atau paguyuban untuk memperluas pasar dan mengembangkan usaha. Misalnya pada 2017, Inri menjadi bagian dari UMKM binaan Sampoerna ketika bergabung ke dalam Sampoerna Retail Community (SRC). SRC merupakan komunitas toko kelontong terbesar di Indonesia. Komunitas ini memiliki jumlah anggota lebih dari 160.000 toko kelontong dan 6.000-an paguyuban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum bergabung dengan SRC, Inri tak punya bayangan akan membesarkan usaha toko kelontongnya. Ketika bergabung dengan SRC, pemilik toko kelontong Bara Cafe ini mulai merapikan tokonya. Belajar pengelolaan dan penempatan barang-barang di toko, belanja menggunakan aplikasi, dan lain-lain.
"Saya percaya, SRC ini mengajak anggotanya untuk menjadi lebih baik dan berkembang usahanya," kata Inri. Setelah bergabung dengan SRC toko menjadi lebih menarik, ia juga mendapatkan pandangan yang berbeda dalam melihat kompetittor.
"Tadinya kita menganggap semua toko saingan, tapi ternyata kita dalam naungan yang sama (SRC). Dari situ malah asik, anggap semuanya rekan, kami sering berbagi informasi barang murah. Menambah kenalan, saudara, dan jaringan, saling membantu," kata dia.
Inri juga sering membantu pemilik toko kelontong lain di SRC yang membutuhkan bantuan pengecatan toko maupun pengadaan rak. Ibaratnya, kata dia, di SRC semuanya punya prinsip maju dan berkembang bersama. Ikatan kekeluargaan di antara anggota SRC juga dinilainya sangat kuat.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
Soal perjalanan bisnisnya, Inri mengatakan, ini merupakan cerita yang panjang dan penuh kenangan serta perjuangan. Ia ingat pertama kali merantau dari Bogor ke Jakarta bersama sang ayah pada 2004 untuk membuka toko kelontong di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Untuk modal, ayah Inri menjual sepeda motornya seharga Rp6 juta. Uang hasil penjualan sepeda motor ini yang digunakan untuk membuka toko itu.
Setelah dua tahun berjalan, usaha toko kelontong berjalan lancar. Perekonomian keluarga juga membaik. Dari situ, kata Inri, sang ayah bisa kembali membeli sepeda motor secara kredit serta memboyong ibu dan adik Inri ke Jakarta.
"Tahun 2009, kami beli tanah 40-50 meter, kemudian dibangun. Harganya waktu itu sekitar Rp 60 juta sampai Rp 70 juta. Tahun 2010, saya lulus SMA, kebetulan sempat cari kerja sana-sini, dan jadi supir pribadi pejabat eselon 2. Jadi bapak-ibu fokus di toko, saya bekerja sebagai sopir pribadi," jelas Inri.
Seiring berjalannya waktu, ayah dan ibu Inri memutuskan kembali ke Bogor dan membangun usaha di sana. Inri tetap meneruskan usaha toko kelontong orangtuanya di Lubang Buaya. Akan tetapi, ada beban kredit di bank yang ditinggalkan sang ayah. Ia pun berusaha melunasi utang-utang tersebut hingga tahun 2014.
"Jadi baru bisa menikmati hidup itu tahun 2014. Tahun 2015, saya memberanikan diri membeli mobil," kata Inri. Dengan mobil yang dibelinya secara kredit, beban keuangan terasa berat bagi Inri karena harus menyisihkan biaya kebutuhan sekolah adiknya dan membayar kontrakan.
Untuk itu, Inri pun sempat menjadi driver transportasi online selama setahun. Pada akhirnya, ia memilih untuk menjual mobil tersebut dan menggunakan uang hasil penjualan mobil untuk membeli tanah seluas 50 meter di Bogor. Usaha toko kelontong di Bogor itu masih berjalan hingga sekarang. Tak hanya satu, Inri memiliki tiga toko kelontong di Kota Hujan itu, berkat perjuangan belasan tahun merintis dan mengembangkan usahanya.
(kil/dna)