Kejadian serupa juga dialami oleh Sari, pedagang ketoprak di kawasan yang sama. Kenaikan harga telur yang capai Rp 10 ribu membuat ia yang biasanya sedia 2 kg telur, kini hanya berani 1 kg saja.
"Berasa banget kebeban. Kalau sekarang emang dikurangi cuma 1 kg, biasanya 2 kg. Penjualannya nggak ngimbang gara-gara mahal ini. Nah kalau yang ini (1 kg) abis, kita nggak nambah lagi, biasanya beli lagi," ujar Sari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena kondisi ini, modal yang ia keluarkan bisa mencapai Rp 650 ribu per hari, dari biasanya yang hanya Rp 500 ribu. Bukan hanya telur, Sari menambahkan, harga kacang yang masih tinggi juga turut mendukung.
"Kalau harga nggak bisa dinaikin, belum. Bingung juga banyak langganan udah biasa beli segitu. Keuntungannya memang lebih agak nipis sih dari sebelumnya," kata Sari.
"Kalau dibanding dulu penurunannya jauh, di kisaran Rp 100-200 ribu," tambahnya.
Kondisi melambungnya harga telur ini bahkan sampai membuat Indra, pedagang martabak di kawasan Tebet, tidak mampu berkata-kata. Yang mampu ia lakukan hanyalah mengurangi jumlah persen keuntungannya.
"Ya nggak bisa ngomong mau gimana lagi. Kalau naik kan kita nggak bisa berbuat apa-apa. Nggak bisa naikin harga juga," ujar Indra.
"Untung berkurang ya pasti. Bahan-bahan di pasar yang naik bukan cuma telur doang, semua. Cuman yang lebih parah ya telur. Biasanya untung 30%, sekarang cuma 20%-an," tambahnya.
Indra mengatakan, tidak banyak yang bisa ia lakukan. Kenaikan yang biasanya paling lama dua minggu, kini sampai 3 bulan. Ia bahkan tidak yakin sampai kapan dirinya dapat bertahan berjualan.
"Kalau ngakalin martabak ini susah. Karena kalau dikurangi ya susah. Martabak kan naiknya (harga) paling setahun 1 kali. Ini bahan makanan naik tiap hari. Rata-rata belanja juga biasanya Rp 300 ribuan, sekarang bisa sampai Rp 500 ribu," jelasnya.
(dna/dna)