3. Pemprov Harus Tegas
Di sisi lain, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menuturkan ERP adalah kebijakan yang sangat tidak populer. Dia menyatakan mungkin kebijakan ini hanya akan didukung oleh orang yang peduli transportasi dan lingkungan saja. Negara-negara lain pun tidak banyak kota yang menerapkan ERP. Alasannya satu, sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat.
Dia mencontohkan di Stockholm, Swedia untuk menerapkan ERP, otoritas setempat sampai melakukan referendum untuk mendapatkan kata 'yes' dari masyarakat dalam melakukan ERP. Sementara itu, di Singapura sendiri kebijakan ERP bisa dilakukan karena pemerintahnya sangat kuat dan agak otoriter.
Namun menurutnya, masyarakat memang harus dipaksa keluar dari kenyamanan menggunakan angkutan pribadi dan mulai naik angkutan umum. Penolakan ERP yang dikaitkan dengan angkutan umum yang buruk akan selalu hadir.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sebaik apapun angkutan umum di sebuah kota, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil. Karena menggunakan mobil ada fleksibilitas, privasi, gengsi, status sosial, prinsip door to door, lain sebagainya. Sementara dengan kebijakan jalan berbayar masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum.
Djoko menilai angkutan umum di Jakarta sudah cukup mumpuni, bahkan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan angkutan umum di Singapura pada 1975 yang saat itu mulai menerapkan kebijakan jalan berbayar. Artinya, Jakarta lebih siap sebetulnya melakukan kebijakan jalan berbayar.
"Angkutan umum di Jakarta sudah cukup baik. Pengguna kendaraan pribadi harus dipaksa keluar dari mobil dan mau naik angkutan umum. Mr. G Menon, orang yang membidani kelahiran road pricing di Singapura, pada tahun 2010 pernah bilang bahwa kondisi angkutan umum di Jakarta yang waktu itu masih 8 koridor busway sudah jauh lebih baik dibandingkan Singapura ketika memulai menerapkan road pricing di tahun 1975," ungkap Djoko.
4. Bukan Ajang Cari Untung
Pemprov DKI Jakarta diprediksi bakal mendapatkan uang cukup besar dari pungutan ERP setiap harinya. DPRD DKI Jakarta memprediksi penerapan sistem jalan berbayar mampu menghasilkan retribusi hingga Rp 60 miliar per hari.
Meski memberikan pemasukan tambahan, MTI mengingatkan agar tarif retribusi jalan berbayar tidak dianggap sebagai ajang cari keuntungan untuk Pemprov DKI Jakarta. Pemerintah wajib menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa pendapatan tarif ERP bukan hasil akhir dan pendapatan dari tarif bukanlah target pendapatan wilayah.
"Tarif ERP harus dipahami, direncanakan dan diimplementasikan bukan dalam rangka proyek yang memerlukan pengembalian modal serta mencari keuntungan, melainkan untuk mengganti kerugian sosial, ekonomi, kesehatan, waktu, dan lain lain yang diakibatkan oleh kemacetan," ungkap MTI.
Di sisi lain, MTI meminta agar hasil pendapatan ERP bisa digunakan untuk perbaikan dan pembenahan kondisi transportasi umum di Jakarta secara luas.
"Tarif ERP harus diposisikan untuk disalurkan kembali pada masyarakat dalam bentuk perbaikan dan pembenahan kondisi transportasi, terutama pada wilayah yang terdampak langsung kebijakan ERP," tulis MTI.
Djoko mengatakan sistem jalan berbayar memang memberikan keuntungan besar buat DKI Jakarta. Selain macet bisa berkurang, Pemprov juga mendapatkan retribusi tambahan. Dia menyarankan uang yang diprediksi besar itu digunakan untuk subsidi angkutan umum di Jakarta.
"Untuk penerapan ERP, Pemprov DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum," ungkap Djoko.
Menurutnya, selama ini kebijakan ganjil genap dan 3 in 1 yang digunakan Pemprov DKI Jakarta untuk mengatur lalu lintas di Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan dan penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Itu pun celah ketidakefektifan Kebijakan ini masih sangat besar. Maka dari itu menurutnya kebijakan ERP akan sangat cocok diterapkan di DKI Jakarta.
Simak Video "Jakarta Akan Terapkan Jalan Berbayar, Angkutan Umumnya Sudah Siap?"
[Gambas:Video 20detik]
(hal/ara)