Sementara itu, profesor pemasaran di Wharton School of Business Universitas Pennsylvania, Barbara Kahn mengkritisi sistem pemasaran yang dilakukan oleh Tupperware. Menurutnya, perusahaan terlalu terpaku pada pola bisnis direct selling alias penjualan langsung.
Di masa lampau, Tupperware menjangkau para pelanggannya lewat 'Tupperware Parties' atau pesta Tupperware. Dalam pertemuan tersebut, para pecinta merek ini akan mendemonstrasikan dan menjual produk kepada teman maupun kenalan mereka.
"Model penjualan langsung itu berhasil dengan baik pada awalnya, tetapi tidak disukai karena kebiasaan konsumen berubah dalam beberapa dekade sebelum pandemi," ujar Kahn.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, para pakar memandang, kondisi pandemi dan inflasi global bukanlah alasan utama dari kejatuhan Tupperware. Pendapat ini dikemukakan oleh profesor pemasaran di Kellogg School of Business di Northwestern, Tim Calkins.
Menurut Calkins, pandemi hanya memperburuk kondisi Tupperware yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku konsumen, serta dalam menghadapi para pesaing barunya. "Perusahaan secara bertahap kehilangan tenaga. Tidak turun dari puncak selama bertahun-tahun, itu hanya menjadi lebih lemah," kata Calkins.
"Jika Anda pergi dan melihat Tupperware di Target, yang Anda lakukan hanyalah melihat betapa tidak terbedakannya mereka, berapa banyak wadah penyimpanan pengganti lain yang tersedia," lanjutnya.
Masyarakat pun jadi cenderung membandingkan produk Tupperware dengan merek lain berdasarkan harga, sehingga produk ini tidak spesial lagi. Tupperware juga gagal berinovasi dalam menanggapi perubahan persaingan dan perilaku konsumen. Akibatnya, penjualan Tupperware menurun selama bertahun-tahun.
(ara/ara)