Belakangan ini tren berjualan lewat media sosial sedang meningkat. Fenomena ini sampai ada istilah social commerce atau penggunaan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga Facebook untuk berjualan.
Pengamat Brand dan Pemasaran Yuswohady menggambarkan belanja di social commerce seperti arisan, di mana orang membeli produk dari orang-orang yang sudah dikenalnya.
"Artinya kita udah kenal semuanya dan ini adalah komunitas kita. Akun seller-nya ini, penjual, akun media sosial ini milik dia. Account-nya di kita (penjual), database-nya di kita, customer-nya juga deket ke kita," tuturnya kepada detikcom, Jumat (5/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun saat ini banyak orang yang berjualan di media sosial, namun menurutnya peran e-commerce tidak serta merta hilang begitu saja. Ia menyebut banyaknya penjual di media sosial hanya karena sedang hype saja.
"Sekarang ini kan lagi FOMO (fear of missing out), lagi hype aja. (Anggapan) bahwa 'ah e-commerce udah nggak relevan', saya kira sih nggak," ungkapnya.
Pembeli Punya Banyak Pilihan
Dari maraknya menjual barang di media sosial, menurut Yuswohady, para pembeli justru akan mendapat lebih banyak pilihan dalam berbelanja, sehingga mereka bisa memilih mana yang lebih bagus maupun mana yang lebih murah, dan lebih mudah. Selain itu, penjualan melalui social commerce maupun e-commerce akan tetap memiliki pasarnya masing-masing.
"Intinya ke produsen, ya ke seller, adalah multichanel. Multichanel itu artinya punya channel untuk social commerce juga iya, tapi e-commerce juga harus jangan ditinggalkan karena mungkin segmen yang berbeda lebih cocok pakai e-commerce, segmen yang lain akan lebih cocok ke social commerce," ungkapnya.
Menurutnya, perbedaan antara jualan di e-commerce dengan social commerce adalah engagement-nya. Untuk menjual barang di media sosial, ada baiknya sudah memiliki relasi yang kuat dengan para followers-nya.
Kata penjual soal social commerce dan e-commerce di halaman berikutnya.