Serba-serbi Social Commerce: Jualan di TikTok-IG Usai 'Demam' e-Commerce

Serba-serbi Social Commerce: Jualan di TikTok-IG Usai 'Demam' e-Commerce

Almadinah Putri Brilian - detikFinance
Sabtu, 06 Mei 2023 12:00 WIB
TOKYO, JAPAN - JULY 16: A man uses his smartphone on July 16, 2014 in Tokyo, Japan. Only 53.5% of Japanese owned smartphones in March, according to a white paper released by the Ministry of Communications on July 15, 2014. The survey of a thousand participants each from Japan, the U.S., Britain, France, South Korea and Singapore, demonstrated that Japan had the fewest rate of the six; Singapore had the highest at 93.1%, followed by South Korea at 88.7%, UK at 80%, and France at 71.6%, and U.S. at 69.6% in the U.S. On the other hand, Japan had the highest percentage of regular mobile phone owners with 28.7%. (Photo by Atsushi Tomura/Getty Images)
Ilustrasi/Foto: Atsushi Tomura/Getty Images
Jakarta -

Belakangan ini tren berjualan lewat media sosial sedang meningkat. Fenomena ini sampai ada istilah social commerce atau penggunaan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga Facebook untuk berjualan.

Pengamat Brand dan Pemasaran Yuswohady menggambarkan belanja di social commerce seperti arisan, di mana orang membeli produk dari orang-orang yang sudah dikenalnya.

"Artinya kita udah kenal semuanya dan ini adalah komunitas kita. Akun seller-nya ini, penjual, akun media sosial ini milik dia. Account-nya di kita (penjual), database-nya di kita, customer-nya juga deket ke kita," tuturnya kepada detikcom, Jumat (5/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun saat ini banyak orang yang berjualan di media sosial, namun menurutnya peran e-commerce tidak serta merta hilang begitu saja. Ia menyebut banyaknya penjual di media sosial hanya karena sedang hype saja.

"Sekarang ini kan lagi FOMO (fear of missing out), lagi hype aja. (Anggapan) bahwa 'ah e-commerce udah nggak relevan', saya kira sih nggak," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Pembeli Punya Banyak Pilihan

Dari maraknya menjual barang di media sosial, menurut Yuswohady, para pembeli justru akan mendapat lebih banyak pilihan dalam berbelanja, sehingga mereka bisa memilih mana yang lebih bagus maupun mana yang lebih murah, dan lebih mudah. Selain itu, penjualan melalui social commerce maupun e-commerce akan tetap memiliki pasarnya masing-masing.

"Intinya ke produsen, ya ke seller, adalah multichanel. Multichanel itu artinya punya channel untuk social commerce juga iya, tapi e-commerce juga harus jangan ditinggalkan karena mungkin segmen yang berbeda lebih cocok pakai e-commerce, segmen yang lain akan lebih cocok ke social commerce," ungkapnya.

Menurutnya, perbedaan antara jualan di e-commerce dengan social commerce adalah engagement-nya. Untuk menjual barang di media sosial, ada baiknya sudah memiliki relasi yang kuat dengan para followers-nya.

Kata penjual soal social commerce dan e-commerce di halaman berikutnya.

Salah satu contohnya adalah seorang penjual kerajinan tangan, Ayi, menggunakan platform social commerce dan e-commerce dalam berjualan untuk memfasilitasi pembeli yang berada di luar daerah. Sebab, ia lebih sering berjualan secara luring melalui pameran.

Walau demikian, ia mengaku pembeli di Instagram maupun TikTok miliknya hanya segelintir orang saja. "Yang beli via IG (Instagram) & TikTok ada sedikit. Paling dalam 1 bulan cuma 1-2 orang. Banyakan yang nanya-nanya aja, terus lanjut via WA (WhatsApp)," tuturnya kepada detikcom.

Ia menuturkan, penggunaan sosial media lebih untuk membagikan konten produk atau promo. Namun, pembeli tetap diarahkan untuk membeli melalui e-commerce seperti Shopee atau Tokopedia. Hal itu untuk mencegah adanya penipuan jualan ataupun pembelian online dan juga supaya para pembeli lebih percaya karena ada review dari pembeli lainnya.

"Jadi Tiktok & IG dan Facebook Page itu fungsinya buat alat promosi. Cuma untuk share promo produk. Tidak lupa dicantumkan link Shopee & Tokpednya," tuturnya.

Tips Jualan di Social Commerce

Yuswohady memberikan beberapa tips bagi kalian yang ingin memulai jualan di media sosial. Pertama, membangun komunitas pembeli yang cukup besar.

Kedua, membuat konten. Selain memposting hal-hal terkait produk, ada baiknya kita juga memposting konten lainnya. Contohnya seperti konten-konten yang berisi tips maupun tutorial.

"Kuncinya adalah konten. Karena kalau konten di Social Commerce hanya jualan saja, siapa yang mau follow akun kita di IG (Instagram) atau TikTok? Makanya saya selalu bilang 80% konten, 20% baru konten yang jualan," ungkapnya.

Ketiga, menjaga reputasi dan kualitas produk yang dijual. Agar review dari konsumen baik, tentunya produk-produk kita akan direkomendasikan ke orang lain.

"Di dalam Social commerce, begitu konsumen komplain, karena namanya media sosial, maka konsumen yang lain akan tahu. Ketika satu komplain menciptakan citra buruk bagi penjual, maka dampaknya bisa sangat fatal," paparnya.


Hide Ads