Penipuan Loker Soceng via WA-Telegram Makan Banyak Korban, Ini Sebabnya

Penipuan Loker Soceng via WA-Telegram Makan Banyak Korban, Ini Sebabnya

Almadinah Putri Brilian - detikFinance
Rabu, 10 Mei 2023 17:28 WIB
Ilustrasi Smartphone
Ilustrasi/Foto: Shutterstock
Jakarta -

Belakangan ini marak terjadi penipuan lewat WhatsApp (WA) maupun Telegram dengan modus lowongan pekerjaan. Hal ini tentunya membuat gerah bagi banyak masyarakat.

CEO Digital Forensic Indonesia, Ruby Alamsyah mengatakan bahwa praktik penipuan seperti itu tengah marak terjadi. Adapun teknik penipuan yang digunakan adalah social engineering dengan mengiming-imingi keuntungan melalui bisnis atau cara apapun supaya orang tersebut tertarik yang ujungnya justru orang itu akan tertipu.

"Jadi di Telegram channel itu memang banyak grup-grup, channel-channel yang disiapkan oleh pelaku cyber crime terorganisir di Indonesia, utamanya yang di Sulawesi maupun yang di Sumatera. Dua kelompok itu yang biasanya melakukan ini," tuturnya ketika dihubungi detikcom, Rabu (10/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jaringan ini, kata Ruby, memang sengaja membuat banyak grup untuk 'menjebak' para korban agar percaya bahwa lowongan kerja yang ditawarkan dengan iming-iming pendapatan yang besar itu benar adanya. Padahal, grup itu kebanyakan isinya adalah orang-orang atau bot-bot para penipu tersebut.

"Komunikasi yang di dalamnya dibikin terkesan grup itu legit, grup itu legal, resmi, aktif, dan menguntungkan bagi para anggota di situ. Terkesan ada komunikasi 'oh ini sudah transfer, komisi,' itu ada semua bukti-buktinya, sehingga korban yang kemarin di Twitter itu merasa 'eh bener ya bisnis ini, dapat komisi'," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

Alasan Belum Bisa Diberantas

Ruby pun membeberkan alasan mengapa operasi seperti ini masih sulit diberantas, khususnya di Indonesia. Menurutnya, ada beberapa kendala yang menghambat operasi penipuan seperti ini sulit diberantas.

Pertama, belum banyak korban yang melapor secara resmi ke penegak hukum. Salah satu faktor yang membuat korban enggan melaporkan hal tersebut karena korban malu atau malas.

Kedua, jumlah sumber daya manusia (SDM) polisi yang terbatas, khususnya di bidang cyber crime. Ia mengatakan, jumlah polisi yang ada masih kalah dengan komplotan penipu.

"Mereka (jumlahnya) kalah dengan si organisasi kriminal cyber crime tadi. Kalah jumlah orang, kalah teknologi, akhirnya kalah cepat, kalah sigap, dan kalah teknologi sama si pelaku itu. Paling misalnya dari 100 operasional mereka (penipu) yang ketangkap atau yang bisa diberantas sama polisi cuma 5 atau 10 alias cuma 5-10%, sisanya masih tetap jalan," bebernya.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Ditambah lagi, menurutnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bisa membantu dalam pemberantasan modus-modus penipuan melalui sosial media. Sebab, hal tersebut masih termasuk ke ranah mereka.

"Ini kan masih ranah mereka dan mereka punya tim-tim di bidang itu, dan juga Kominfo sesuai amanat Undang-undang ITE mereka ada PPNS, ada Penyidik PNS. Jadi orang Kominfo walaupun PNS punya wewenang seperti penyidik Polri, tapi khusus pelanggaran UU ITE," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, media sosial Twitter sempat ramai soal penipuan berkedok lowongan kerja. Korban penipuan tersebut mengaku sudah kehilangan uang sekitar Rp 21 juta.

Kejadian itu bermula dari adanya tawaran pekerjaan yang ia dapat dari WhatsApp yang diterimanya pada 1 Mei 2023. Mereka mengaku dari Accurate Creative, sebuah perusahaan media partner iklan dan pemasaran yang memiliki cabang di Amerika, Kanada, dan beberapa negara lainnya.

Adapun pekerjaan yang ditawarkan meningkatkan performa video di YouTube dengan memberikan like dan subscribe. Nantinya, akan ada kurang lebih 20 tugas like dan subscribe setiap harinya dan setiap menyelesaikan 3 tugas akan mendapat bonus Rp 15.000 yang dibayarkan langsung ke rekening bank.

"Ibarat naikin traffic akun pake bot tapi ini real user asli," cuit akun @Giarsyahsyifa, dikutip detikcom, Rabu (10/5/2023).

Setelah mengiyakan, korban pun langsung diundang ke grup telegram. Di dalam grup telegram tersebut, ada lebih dari 300 anggota. Setelah mengerjakan beberapa tugas, korban benar-benar mendapatkan bonus yang disebutkan di awal. Maka dari itu, ia tidak menaruh curiga pada perusahaan ini.

Hingga akhirnya ada yang namanya tugas peningkatan. Di tugas peningkatan tersebut, peserta diminta untuk menaikkan transaction rate di website crypto dengan cara deposit. Deposit tersebut akan diberikan bersamaan dengan reward yang didapat pada akhir nanti.

Nominalnya pun boleh memilih, mulai dari Rp 300-500 ribu dengan reward 20%. Korban pun mengikutinya karena peserta lain di grup juga melakukan hal yang sama dan benar saja, deposit dan reward-nya bisa langsung diambil setelah selesai mengerjakan tugas.

Akan tetapi, seiring dengan adanya peningkatan tugas, korban diminta untuk melakukan deposit dengan nominal yang lebih tinggi lagi. Korban mengaku telah melakukan deposit mulai dari Rp 2,5 juta hingga Rp 14,7 juta. Karena telah melakukan deposit dengan jumlah yang cukup besar, korban pun dimasukkan ke grup 'VIP' di telegram.

Akan tetapi, setelah melakukan deposit Rp 14,7 juta, korban diminta untuk deposit lagi sebesar Rp 30 juta sebagai 'tugas akhir' sebelum mengambil hasil deposit dan bonus. Jika tidak ada deposit, maka uang yang telah didepositkan tidak akan bisa diambil. Karena merasa dirugikan, korban pun melapor ke polisi setempat dan memblokir sejumlah rekening yang digunakan oleh penipu tersebut.


Hide Ads