Boomers di Tengah Kisruh Polusi Udara

Kolom

Boomers di Tengah Kisruh Polusi Udara

Bhima Yudhistira - detikFinance
Selasa, 22 Agu 2023 10:37 WIB
WFH 50% bagi ASN Pemprov DKI Jakarta diterapkan mulai hari ini untuk mengurangi polusi di ibu kota. Seperti apa wajah langit Jakarta siang ini?
Foto: Andhika Prasetia
Jakarta -

Kisruh polusi udara Jakarta semakin runyam ketika berbagai kepentingan berkelindan menciptakan kebingungan di tengah masyarakat. Dari sisi Pemerintah sendiri sebenarnya tidak kompak.

Ada yang menyebut transportasi sebagai masalah utama polusi udara, ada juga yang menitikberatkan pada kawasan industri dan PLTU batu bara. Bagi pihak yang anggap transportasi sebagai penyebab utama polusi udara, solusinya justru WFH (work from home) dan mendorong penggunaan kendaraan listrik.

WFH jelas bukan jawaban, karena begitu WFH selesai, polusi udara akan tetap jadi persoalan. Toh, ketika ASN Pemprov DKI Jakarta misalnya diminta WFH, aktivitas lainnya masih membutuhkan kendaraan pribadi, misalnya mengantar anak ke sekolah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mendorong swasta melakukan WFH juga tidak mudah, kecuali sebagian sektor jasa, di luar itu nampaknya perusahaan sulit melakukan WFH. Alhasil Jakarta tetap macet. Ini ibaratnya mau menyelesaikan persoalan tapi secara parsial.

Mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik juga tidak sepenuhnya tepat. Sumber dari baterai kendaraan listrik, salah satunya adalah nikel, masih mengandalkan batu bara untuk proses hilirisasi.

ADVERTISEMENT

Jangan sampai ego masyarakat Jakarta memakai kendaraan listrik menambah polusi udara di Morowali, Konawe dan wilayah smelter nikel lainnya. Ongkos lingkungan dari penggunaan PLTU batu bara di kawasan industri pengolahan nikel teramat berat. Belum lagi bauran energi listrik untuk pengisian daya PLN masih dominan dari sumber batu bara.

Kebingungan mengatasi polusi udara justru muncul dari pola pikir Boomers (panggilan singkat Generasi Baby Boomers). Baby boomers atau generasi yang dilahirkan pada rentang 1946-1964 memang cukup andal menyampaikan climate denial.

Tidak hanya di Indonesia, tapi di negara lain perilaku Boomers tidak jauh berbeda. Generasi yang telah berkontribusi pada kerusakan alam dan menjadi kontributor polusi udara terlebih dahulu, justru membela PLTU batu bara. Padahal dunia sudah berubah mengarah ke akselerasi energi bersih secara masif.

Tuduhan Boomers misalnya bahwa lembaga yang mengeluarkan simulasi terkait dampak polusi PLTU batu bara ke Jakarta atau CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air) dianggap hoax, dan PLN telah menerapkan berbagai cara menurunkan polusi jelas lebih ke pembelaan semata.

Fakta bahwa PLTU bermasalah dan menimbulkan biaya kesehatan yang teramat mahal tidak bisa dibantah lagi. Perdebatan PLTU batu bara bukan sebagai sumber polusi udara harus disudahi.

Lanjut ke halaman berikutnya

Tanyakan kepada masyarakat di sekitar PLTU batubara apa yang namanya polusi dan ISPA. Mereka dengan mudah menjelaskan kepada para Boomers detail masalahnya.

Keterangan Menko Marves sendiri yang menegaskan pentingnya pengendalian terhadap PLTU batu bara, dan upaya pengurangan emisi di kawasan industri. Sekarang bagaimana cara mengendalikan polusi yang sumbernya dari PLTU batu bara.

Bisa dengan penutupan PLTU batu bara lebih cepat, dan menggantikan dengan energi terbarukan. Toh, mempertahankan PLTU batubara selain biaya lingkungan yang mahal, eksploitasi batu bara secara masif puluhan tahun, juga secara ekonomi tidak lagi menguntungkan.

Sementara itu ada komitmen JETP (Just Energy Transition Partnership) yang bertujuan membantu pendanaan pensiun dini PLTU batubara, dekarbonisasi industri, dan instalasi energi terbarukan. Pemerintah Indonesia memang sudah berkomitmen dengan negara maju dan perbankan internasional dalam tindak lanjut JETP. Tapi kesepakatan JETP bisa dikatakan membutuhkan waktu, sementara polusi udara terus berlangsung.

Studi CELIOS dengan 1.245 responden juga menunjukkan bahwa rentang usia 55-64 tahun ke atas hanya 6% yang paham soal JETP. Rata-rata masyarakat yang memahami isu JETP sebanyak 23%.

Ini berarti Boomers memang tidak memahami perkembangan gerakan transisi energi secara utuh, bahkan sekali lagi cenderung menjadi climate denial (menolak isu perubahan iklim).

Banyak PLTU batu bara yang harusnya sudah dipensiunkan, dimatikan, dan diganti energi bersih tanpa mengikuti skema JETP. Ibaratnya skema JETP jalan terus, tapi PLN dan Pemerintah punya tanggung jawab mematikan PLTU yang usianya sudah kadaluarsa.

Dengan pertimbangan kapasitas yang sudah kelebihan pasokan (over supply) pembangkit Jawa-Bali, dan biaya lingkungan yang tinggi sudah cukup kiranya beberapa PLTU batu bara masuk masa pensiun tahun ini.

Sebagian Boomers juga mungkin lupa, bahwa penunggang gelap dari masalah iklim dan polusi udara di Jakarta adalah skema insentif kendaraan listrik. Target pemerintah untuk penetrasi kendaraan listrik diharapkan akan meningkat dari 2 juta unit tahun 2025 menjadi 13 juta unit tahun 2030.

Dalam rangka mendorong target yang ambisius, pemerintah mendorong aneka insentif. Padahal masyarakat juga tidak sepenuhnya terlena dengan insentif. Kalau kendaraan semakin banyak, sementara produksi mobil dan motor bbm terus berjalan, apakah polusi udara bisa berkurang?

Yang terjadi orang kaya akan menambah mobil listrik, tanpa repot-repot menjual mobil BBM-nya. Jumlah kepemilikan kendaraan pribadi makin banyak.

Narasi bahwa kendaraan berbasis BBM menjadi sumber polusi udara idealnya dijawab dengan dukungan penuh pemerintah untuk menggratiskan transportasi publik. Pemerintah Spanyol misalnya menurunkan emisi karbon dengan cara memberikan free rail pass yang berarti 30 km jarak tempuh kereta digratiskan kepada para komuter.

Cara lain adalah mendorong investasi yang lebih besar untuk menyediakan angkutan feeder atau last mile. Dari rumah ke kantor, tidak perlu lagi memarkir kendaraan pribadi di stasiun atau sekitar halte karena sudah ada jaringan angkutan feeder yang menjangkau luas.

Tentu polusi udara tidak akan selesai hanya dengan mendebat para Boomers. Tugas generasi Z dan Millenial adalah menemukan solusi yang kreatif, berani dan tanpa tendensi kepentingan jangka pendek semata.

Sudah saatnya pemerintah mendengarkan generasi masa datang yang akan mewarisi Indonesia, termasuk mewarisi kerusakan lingkungannya.

Direktur Eksekutif CELIOS
Bhima Yudhistira



Simak Video "Video: Polusi Udara Bisa Meningkatkan Risiko Diabetes "
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads