Dirjen Perikanan Budidaya KKP TB Haeru Rahayu menjelaskan terkait potensi ikan tilapia atau nila yang begitu besar di pasaran lokal maupun internasional. Menurutnya, market value ikan tilapia di tahun ini mencapai U$S 13,9 miliar.
Hal itu diungkapkannya dalam acara pengukuhan kepengurusan Asosiasi Tilapia Indonesia (ATI) di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta Pusat, Rabu (15/11/2023). Ia menyebutkan terdapat lima komoditas yang sedang digarap pemerintah, salah satunya tilapia yang memiliki potensi yang begitu besar.
"Pertama ada udang, yang kedua lobster, kemudian kepiting, yang keempat tilapia dan yang kelima adalah seaweed atau rumput laut. Mengapa kini yang kita angkat tilapia, karena kalau kita lihat secara market valuenya secara global ini sangat luar biasa. Nilainya saat ini di tahun ini U$S 13,9 miliar dan diprediksi 10 tahun kemudian menjadi U$S 21,4 miliar," terang Haeru.
Selain itu, ia menjelaskan ada alih fungsi tambak udang yang begitu luas sebanyak 80 ribu hektare di Pantai Utara Jawa yang tidak dikelola dengan benar. Maka dari itu pemerintah melalui KKP mengalihkan kegunaan tambak tersebut untuk pembudidayaan ikan tilapia, khususnya tilapia salin.
"Kami punya kebijakan khususnya di Pantai Utara Jawa, konsekuensi budi daya udang yang dulu tidak ditata kelola dengan baik sehingga ada hampir 80 ribu hektare lahan yang ditinggalkan oleh pembudi daya udang dan itu ideal. Maka dari itu pemerintah harus mengambil langkah itu dengan mengganti dengan komoditas yang lebih tahan, salah satunya adalah Tilapia. Tilapia yang Nila Salin," lanjutnya.
Langkah ini merupakan upaya yang sedang digarap oleh pemerintah dengan melakukan modeling di Karawang. Supaya nanti ke depannya bisa membangkitakan geliat ekonomi masyarakat di Pantai Utara Jawa .
Menurut Haeru, sebagai salah satu eksportir terbesar ke-4 Ikan Talapia ke pasar internasional, utamanya Amerika Serikat, permintaan ikan talapia rata-rata meningkat 3,5% per tahun dalam berbagai bentuk seperti fillet beku (60%), utuh beku (22%), filet segar (14%), dan utuh segar (4%) dengan kontribusi 9,7% atau setara dengan nilai ekspor sebesar U$S 79 juta.
"Saya sangat optimis, global market-nya sangat luar biasa, pangsanya itu di Amerika sangat luar biasa. 80% itu pasti ke Amerika dan biasanya berbentuk fillet dan untuk yang domestik itu tidak kalah pentingnya, pasca-COVID-19 daya beli kita sangat terbatas dan harga ikan nila masih cukup terjangkau dan dari gizi pun juga sangat luar biasa. Kalau ini berkembang saya berkeyakinan ikan nila ini bisa mendongkrak perekonomian domestik maupun non-domestik," tutur Haeru.
KKP juga memiliki Unit Pelaksana Teknis untuk khusus budi daya air tawar yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia seperti Sukabumi, Karawang, Jambi, dan Sulut.
Sementara itu Ketua Asosiasi Tilapia Indonesia Alwi Tunggul Prianggono dengan dibentuknya asosiasi ini untuk mendukung program pemerintah tentang Ekonomi Biru tentang budidaya ikan tilapia. Kemudian Alwi juga membeberkan 3 program yang dilakukan oleh ATI.
"Ada tiga program yang kita lakukan. Pertama itu standardisasi, kalau kita ngomongin Cara Pembenihan Ikan yang Baik (CPIB) itu standar sekali dan itu konsep ekonomi berkelanjutan, terus yang kedua adalah pemanfaatan lahan-lahan yang ideal, dan yang ketiga adalah ketersediaan indukan dan bibit yang standar dan bersertifikasi supaya untuk budidaya lebih produktif," jelas Alwi.
Simak Video "Bikin Laper: Nikmatnya Nila Sambal Dabu-dabu Bumbu Rempah"
(ncm/ega)