Cara Manusia Sampan Bertahan Hidup di Garis Kemiskinan

Ignacio Geordi Oswaldo - detikFinance
Selasa, 23 Apr 2024 16:10 WIB
Foto: ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Jakarta -

Pendapatan sebagai tukang ojek sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, rata-rata paling banyak hanya sebesar Rp 800.000 per bulan. Tidak jarang pendapatan mereka malah lebih sedikit dari itu.

Kondisi ini membuat para 'manusia sampan' hidup sangat dekat dengan kemiskinan, mengingat angka garis kemiskinan DKI Jakarta per 2023 kemarin berada di Rp 792.515 per kapita per bulan. Lantas bagaimana cara mereka bertahan hidup dalam kondisi itu?

Salah seorang tukang ojek sampan, Bakar (78), mengatakan sehari-hari jumlah pendapatan sangatlah tidak menentu. Terkadang ia hanya bisa mendapat uang sebesar Rp 100.000 dalam sehari (satu kali narik), namun setelah itu dalam beberapa setelahnya tidak mendapatkan penumpang lagi.

Dalam satu minggu dirinya paling banyak bisa mengangkut penumpang sebanyak dua kali. Dengan asumsi itu, artinya dalam sebulan maksimal Bakar hanya bisa mengangkut delapan penumpang dan mengantongi paling tinggi Rp 800.000.

"Rp 100.000 itu paling sehari dua hari habis, buat narik aja ini kan perlu bensin. Sekali narik satu liter cukup lah bolak-balik (dari tepi dermaga ke mercusuar), sisanya buat makan sama rokok," ujar Bakar saat ditemui detikcom, Selasa (23/4/2024).

Apabila tak dapat penumpang, mau tidak mau ia harus mengutang makanan agar bisa mengisi perutnya yang kosong. Untang tersebut secara rutin ia bayar setelah mendapat pelanggan.

"Kalau nggak ada penumpang ya ngutang dulu lah ke warung, kalau ada uang baru bayar. Paling-paling makan kan Rp 15.000, sama rokok 2 batang sekarang sudah Rp 5.000, jadi Rp 20.000 lah. Yah mentok-mentok kalau nggak ada duit sama sekali itu ngutang Rp 50.000 lah. Nanti kalau dapat uang kita bayar," terang Bakar lagi.

Kalau benar-benar sedang sepi hingga ia tidak memiliki pemasukan sama sekali. Sesekali Bakar akan pulang ke rumahnya yang berada di Pasar Kemis, Tangerang.

Beruntung anak-anak Bakar di rumah sudah pada bekerja dan punya keluarga. Sehingga sedikit banyak mereka bisa membantu saat utang sudah mulai menumpuk di warung langganannya.

"Kalau sudah nggak ada pulang kampung, ke Pasar Kemis. Di sana ada anak-istri. Biasanya mereka tahu, kalau pulang ya utang sudah banyak. Nanti dikasih berapa untuk bayar," jelas Bahar.

"Sebenarnya saya sudah disuruh di rumah aja sama anak, kan sudah pada kerja. Tapi ya mau ngapain di rumah nggak ada kerjaan. Ya di sini bertahan untuk kerja aja, kalau malam tidur di sana (menunjuk ke arah kapal yang sedikit lebih besar dengan tenda di seberang dermaga)," tambahnya.

Sementara itu, tukang ojek sampan lain bernama Lupi (61) mengatakan nasib serupa dengan Bakar juga ia rasakan. Namun berbeda dengan Bakar yang tinggal sendiri, ia bersama keluarga tinggal di seberang dermaga, kawasan Luar Batang.

Dengan begitu sering kali ia bisa membawa nasi dari rumah untuk makan di atas kapal sembari menunggu penumpang. Di luar itu, ia juga masih memiliki beberapa langganan kapal yang memerlukan sampan untuk mengangkut beberapa barang menuju tempat penimbangan.

"Hampir setiap hari ada langganan, sekali dua kali angkut besi berapa kuintal. Di bawa ke penimbangan di sana ada (sisi seberang tempat kapal berlabuh)," kata Lupi.

Dalam satu kali pengangkutan ia bisa mendapat sekitar Rp 100.000. Dengan begitu saat tidak ada wisatawan yang ingin menumpangi sampan miliknya, ia masih bisa membawa pulang sedikit dana untuk keluarga.




(fdl/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork