Lobster dan Aturan Pengelolaannya

Kolom

Lobster dan Aturan Pengelolaannya

Muhammad Qustam Sahibuddin - detikFinance
Kamis, 30 Mei 2024 15:28 WIB
Kepala Sub Direktorat Penegakan Hukum  Ditpolair Korpolairud Baharkam Polri Kombes Donny Charles Gi menyampaikan keterangan saat jumpa pers di  Ditpolair Baharkam Polri, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (17/5/2024).
Foto: Pradita Utama
Jakarta -

Forum Air Sedunia yang diselenggarakan di Bali (Mei 2024) mengusung tema "Water for Shared Prosperity". Tema tersebut sangat relevan mengingat air memiliki manfaat yang sangat esensial bagi keberlangsungan hidup umat manusia.

Setali tiga uang, lobster (Panulirus sp.) serta Benih Bening Lobster (BBL) atau puerulus juga memiliki peranan penting dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga regulasi pengelolaannya memiliki peran penting untuk bisa memberikan kesejahteraan dan kelestarian.

Pada 18 Maret 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan regulasi terbaru terkait pengelolaan lobster melalui Permen-KP No.7/2024. Regulasi tersebut telah memicu pro dan kontra serta menjadi berita hangat di berbagai media massa tanah air.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permen-KP No.7/2024 memperbolehkan BBL diekspor untuk kepentingan budidaya di luar negeri (Pasal 3 ayat (1) huruf b). Kebijakan tersebut dapat dikatakan tidak masuk akal, karena budidaya lobster di Indonesia saja belum berhasil, lantas kenapa malah mendukung suplai BBL untuk kebutuhan budidaya lobster di luar negeri.

Semenjak isu BBL mencuat, Indonesia identik sekali dengan hewan prestisius tersebut. Perairan Indonesia memiliki potensi BBL sebesar 466 juta ekor dengan kuota penangkapan yang diperbolehkan sebanyak 419 juta ekor (Kepmen-KP No.28/2024).

ADVERTISEMENT

Dari angka tersebut apakah nelayan dan pembudidaya telah memanen manfaat ekonomi secara signifikan? Atau justru negara lain yang mendapatkannya.

Berbicara regulasi pengelolaan lobster, nelayan dan pembudidaya kebingungan harus mematuhi regulasi yang mana, karena begitu banyak regulasi yang diterapkan dan selalu berubah. Dari era Susi Pudjiastuti hingga Sakti Wahyu Trenggono sudah ada enam Permen-KP yang diterbitkan dan selalu berubah. Celakanya sudah begitu banyak regulasi yang diberlakukan tidak membuat Indonesia berada diatas Vietnam dalam hal produksi lobster budidaya.

Alasan utama pemerintah mengatur pengelolaan lobster adalah untuk melindungi sumber dayanya di alam, meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta menghentikan maraknya penyeludupan BBL ke luar negeri. Ironisnya walaupun ekspor BBL telah dibuka kembali, kasus penyelundupan masih terus berlangsung.

Dari tahun 2014 - 2023 penyelundupan BBL ke luar negeri mencapai Rp 1,99 triliun (berbagai sumber). Sedangkan PNBP justru akan jauh lebih besar didapatkan jika menjual lobster konsumsi dibandingkan hanya berdagang BBL ke luar negeri.

Lanjut ke halaman berikutnya

Dampak Permen-KP No. 7 Tahun 2024

Terbitnya Permen-KP No. 7/2024 seharusnya menjadi instrumen untuk melaksanakan amanah UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, yaitu bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Alih-alih mensejahterakan, regulasi tersebut justru memposisikan masa depan pengelolaan dan pengembangan budidaya lobster di Indonesia berada di ujung tanduk. Pertama, Permen-KP No. 7/2024 secara langsung melemahkan kemampuan pembudidaya lokal untuk memperoleh BBL sebagai input budidaya, dikarenakan harganya yang naik (Rp 8.500 per ekor).

Kedua, Badan Layanan Umum Perikanan Budidaya (BLUPB) diberikan tugas untuk mengendalikan proses pemasaran BBL ke luar negeri. Di sini terlihat jelas keberpihakan BLUPB hanya untuk menfasilitasi penjualan BBL ke pihak investor dan pembudidaya di luar negeri sedangkan pembudidaya lokal dianaktirikan. Di samping itu juga penunjukan BLUPB dikhawatirkan akan memonopoli pemasaran BBL di kemudian hari.

Ketiga, ekploitasi sumber daya BBL di alam meningkat 2 kali lipat yaitu kebutuhan untuk ekspor yang dilegalkan dan yang ilegal. Tahun 2023 sendiri kasus ekspor BBL ilegal mencapai 1,6 juta ekor, sedangkan sepanjang tahun 2024 sudah mencapai 1 juta ekor (m.antaranews.com 17/05/2024). Semakin meningkatnya ekploitasi BBL tentu berakibat pada stok sumber dayanya di alam yang mengalami deplesi.

Keempat, memberikan karpet merah kepada pengusaha Vietnam untuk melakukan budidaya lobster di Indonesia, dengan sendirinya pemerintah telah menjerumuskan masa depan pembudidaya lobster tanah air ke jurang kegelapan.

Pasalnya teknologi budidaya dalam negeri masih jauh tertinggal dibandingkan Vietnam. Akan tercipta iklim usaha yang tidak sehat, dimana pembudidaya lokal akan kalah bersaing dari segi sumber daya mansuia, teknologi, insfrastruktur, modal dan akses pasar serta tidak menutup akan terjadinya ocean grabbing.

Hal tersebut serupa dengan kasus privatisasi perikanan lobster di Southwest Nova Scotia dengan sistem kuota. Kebijakan tersebut telah membuat nelayan skala kecil sulit bersaing dengan korporasi, sehingga berdampak negatif terhadap kondisi sosial ekonominya (Barnet et al. 2017).

Lanjut ke halaman berikutnya

Solusi

Ada beberapa hal yang harus pemerintah Indonesia lakukan jika tidak ingin semakin tertinggal dari Vietnam. Pertama, buat dan berlakukan aturan pengelolaan lobster yang benar dan adaptif. Artinya aturan tersebut adaptif untuk jangka pendek, menegah dan panjang serta mampu mengimplementasikan amanah dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3.

Karena aturan merupakan instrumen penting untuk melaksanakan amanah UUD 1945. Hal tersebut menjadi kunci utama agar Indonesia memiliki pondasi kuat untuk pengembangan budidaya lobster. Menciptakan aturan tersebut memang tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil untuk dilakukan, yang sulit adalah mengawal implementasinya.

Ajak semua stakeholder yang terlibat mulai dari nelayan, pembudidaya, pengumpul lokal, pengumpul besar, pengusaha hingga akademisi melalui workshop ke setiap lokasi sumber BBL yang ada di Indonesia. Akomodir semua masukan dan kepentingan dari setiap stakeholder yang terlibat dengan mengedepankan peran akademisi dari segi keilmuan untuk menggodoknya.

Kedua, Sinkronkan aturan yang dibuat dengan Program Kampung Lobster di NTB. Susun master plan budidaya lobster secara komprehensif yang memuat rencana sumber benih dari mana saja, sumber pakan, lokasi pendederan 1 dan 2 serta lokasi pembesaran.

Berikutnya perkuat pengembangan teknologi pakan, sumber daya manusia, sistem pendederan dan pembesaran di darat dan laut melalui riset yang berkelanjutan dan didukung sarana infrastruktur berkualitas dengan melibatkan perguruan tinggi, pemprov, pemda, masyarakat dan pengusaha.

Selanjutnya perbaiki akses pasar yang sudah ada untuk distribusi lobster yang siap dilepas ke pasar lokal, nasional dan internasional. Dengan demikian Kampung Lobster di NTB nantinya menjadi prototype kawasan pengembangan lobster di Indonesia.

Ketiga, petakan secara mendetail wilayah Indonesia yang memiliki potensi pengembangan budidaya lobster secara bertahap dan berkelanjutan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Mulai dari kelayakan hidro oseanografi, ketersediaan sumber pakan, sumber benih dan akses pasar lokal, nasional dan internasional.

Keempat, integrasikan lokasi sumber BBL dengan wilayah budidaya yang telah dipetakan. Dengan demikian tercipta integrasi antar kawasan penghasil BBL dengan kawasan budidaya. Karena tidak semua wilayah perhasil BBL di Indonesia cocok untuk melakukan kegiatan budidaya lobster.

Kelima, jangan membuat aturan yang terlalu birokrasi dan panjang dalam mendukung iklim usaha budidaya lobster. Aturan sederhana saja namun berbobot dalam mendukung dan mengawasi ilkim usaha budidaya lobster di Indonesia. Semakin panjang rantai birokrasi dalam sebuah aturan, semakin besar pula peluang untuk melakukan korupsi.

Keenam, petakan jalur utama dan alternatif penyelundupan BBL baik melalui jalur darat, air dan udara. Setelahnya tingkatkan sistem pengawasan serta komitmen penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

Komitmen penegakan hukum menjadi kunci memberantas penyelundupan BBL, namun hal tersebut cukup sulit direalisasikan, karena berhadapan dengan sistem kerja penyeludupan yang rapi, memiliki modal kuat serta jaringan yang luas mulai pengusaha hingga kalangan birokrat. Namun mau tidak mau hal tersebut harus disikapi dengan serius dan bijak oleh pemerintah agar kasus penyelundupan BBL dapat berkurang dan diberantas habis.

Hemat penulis, tidak usah bermimpi menyaingi Vietnam 10-20 tahun ke depan, namun pemerintah Indonesia fokus saja memperkuat setiap tahapan yang telah diuraikan di atas, terutama terkait aturan pengelolaan lobster di Indonesia.

Jika hal tersebut dilakukan, Indonesia akan memiliki pondasi budidaya lobster yang kuat dan mapan serta mampu berdampak signifikan bagi kelestarian sumber daya lobster, memberikan kesejahteraan kepada nelayan, pembudidaya, pengusaha lokal dan peningkatan PNBP di masa depan.


Muhammad Qustam Sahibuddin
Peneliti PKSPL IPB



Simak Video "Video: Polisi Buru Pemilik Koper Berisi 11 Ribu Benih Lobster di Batam"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads