Komisi V DPR berencana membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang angkutan online. Ini menyusul tuntutan para driver ojek online (ojol) hingga taksi online terkait potongan biaya aplikasi hingga layanan yang dinilai memberatkan.
Ketua Komisi V DPR Lasarus mengatakan sudah menerima aduan para driver pada aksi kemarin. Pertama, tuntutan untuk memberikan sanksi tegas kepada aplikator yang melanggar Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 12 Tahun 2019 dan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) KP No. 1001 Tahun 2022.
Kedua, penetapan batas potongan maksimal sebesar 10% dari pendapatan mitra pengemudi oleh perusahaan aplikator. Hal ini menggantikan aturan saat ini yang dinilai kerap dilanggar hingga mendekati 50% hingga tuntutan untuk merevisi sistem penumpang.
"Kami sudah mendapat perintah dari pimpinan DPR untuk segera memulai pembahasan undang-undang angkutan online," kata Lasarus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan driver aplikasi transportasi online di Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/5/2025).
Lasarus mengingatkan UU angkutan online ini tidak hanya akan dibahas Komisi V saja dan perlu melibatkan pihak terkait lainnya. Komisi V hanya menaungi dari sisi angkutannya karena bermitra dengan Kementerian Perhubungan.
Selain itu, juga ada Komisi XI yang menangani masalah sistem pembayarannya. Komisi XI juga bermitra dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terkait erat dengan hal ini.
Selaras dengan itu, menurut Lasarus kemungkinan akan dibentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas UU angkutan online ini.
"Kalau melihat dari portfolio dari rumah besar penyusun ini, nanti saya berpikir atau saya bahkan mungkin berani menyimpulkan ini nanti rumusnya Pansus, bukan Panja (Panitia Kerja) di Komisi V, tapi Pansus Undang-Undang Angkutan Online," ujarnya.
Minta Legalitas
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Angkutan Online Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan status ojol masih dianggap ilegal mengacu pada Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Sedangkan apabila mau mengubah status ojol sebagai angkutan masyarakat yang legal, berarti mengubahnya menjadi angkutan umum, sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu, ia menyambut baik langkah pemerintah untuk menggodok UU khusus angkutan online.
"Ini yang kita harapkan, kalau sudah bentuk kayak UU kan yang rigid, akan lebih kuat lagi. Kalau sudah kuat kayak gini, kita harapkan di dalamnya itu ada sanksi. Baik itu sanksi administrasi maupun sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran," kata Igun, ditemui usai rapat.
"Yang terjadi saat ini kan regulasi yang ada tidak menerapkan sanksi sehingga perusahaan aplikasi ini bebas-bebas aja melanggar. Seperti contoh yang kita sedang tuntut adalah potongan biaya aplikasi. Mereka, perusahaan aplikator ini, tidak memiliki, tidak pernah dihukum atau disanksi tegas oleh pihak pemerintah," sambungnya,
Menurut Igun, tanpa adanya sanksi tersebut, pemerintah juga tidak bisa terlalu banyak melakukan intervensi dari hal-hal yang menimpa driver ojol maupun taksi online. Karena itulah, harapannya, lewat kehadiran UU tersebut ojol akan mendapat legalitas dan perlindungan hukum.
Simak juga Video 'Driver Ojol Tuntut Temui Menhub':
(shc/hns)