Rapat Dewan Komisioner Bulanan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang diselenggarakan pada tanggal 25 Juni 2025 menyatakan bahwa stabilitas Sektor Jasa Keuangan (SJK) di Indonesia masih tetap terjaga dengan baik. Kesimpulan itu melegakan mengingat kondisi ekonomi global sedang mengalami pelemahan akibat berbagai faktor, termasuk perlambatan pertumbuhan di negara-negara maju, fluktuasi harga komoditas, serta peningkatan tensi geopolitik, khususnya di kawasan Timur Tengah.
Tentu saja yang paling berdampak adalah kebijakan Presiden Amerika Donald Trump yang 'brutal' dengan perang tarif kepada semua negara di dunia. Kebijakan pengenaan tarif yang tinggi alias 'irasional' pada awalnya bertujuan untuk memperkuat posisi ekonomi Amerika sebagai kekuatan ekonomi global utama.
Namun, kebijakan ini justru menimbulkan ketidakpastian ekonomi yang meluas dan cepat. Sejatinya perang tarif yang dimulai sejak 2018 utamanya mentarjet Tiongkok yang 'dipersepsi' sebagai sumber 'hancurnya' daya saing industri manufaktur khususnya dan ekonomi Amerika secara umum.
Namun setelah Trump berkuasa kembali, penggunaan tarif tidak terukur sebagai instrumen 'balas dendam' dilakukan kembali. Ini menciptakan kekacauan kebijakan perdagangan internasional. Bahkan prinsip multilateralisme dalam perdagangan internasional dihancurkan secara sistematis.
Kosekuensinya adalah ketidakpastian ekonomi global. Hampir seluruh perusahaan multinasional yang aktif dalam perdagangan internasional mengalami kepanikan dalam perencanaan produksi dan distribusinya. Mereka mengalami kesulitan dalam memprediksi arah dan skala perdagangan global.
Mereka juga sulit dalam menghitung biaya produksi dan harga yang pas. Tentu saja masalah makin kompleks karena ada pembalasan dari mitra dagang Amerika sehingga perusahaan multinasional mengalami kesulitan dalam menilai akses pasar ekspor maupun impor.
Investor global tersandera sehingga melakukan pelarian modal dan menempatkan asetnya dalam komiditas emas. Kondisi ini mendorong aktivitas investasi dan perdagangan internasional masuk dalam situasi yang penuh ketidakpastian.
Destabiliasi Global
Kebijakan atau perang tarif membuat kondisi pasar saham China naik-turun secara tajam seperti yang terlihat pada Indeks Komposit Shanghai (SSE). Ketika Trump mengumumkan kenaikan tarif pada 2 April 2025 saat hari kemerdekaan (Liberation Day), Bursa Shanghai mencatat penurunan mingguan paling besar sejak Maret 2020 yaitu dalam satu hari turun sekitar -7,34% dan Bursa Shenzhen mengalami penurunan 9,66%.
Jika pada akhir 2024, indeks SSE ditutup di 3.351,76 poin, naik sekitar +12,67% dari 2023. Namun akibat lonjakan tarif awal 2025, indeks sempat terkoreksi tajam di kuartal pertama yaitu 3.096, 58 dan dengan volatilitas tinggi.
Reuter melaporkan indeks SSE mengalami kenaikan setelah perang tarif dengan Amerika mereda. Nilai tukar mata uang China, Yuan, juga mengalami tekanan karena ketegangan hubungan perdagangan dengan Amerika meningkat. Perang dagang berdampak memperlambat pertumbuhan ekonomi China.
Dampak perang tarif juga terjadi di pasar keuangan China seperti risiko gagal bayar utang perusahaan meningkat ditunjukan dari kenaikan NPL dari 1,29% menjadi 1,59% pada bulan April 2025. Akibatnya laba bank menurun karena kenikan NPL dan permintaan atas kredit atau pinjaman berkurang. Yang menakutkan adalah trend investor menghindari saham dan memilih investasi yang lebih aman seperti emas.
Di Eropa, Perang tarif yang dicetuskan Trump telah menyebabkan meningkatnya volatilitas pasar saham. Indeks utama seperti Euro Stoxx 50. Pada akhir 2024, indek komposit EuroStoxx 50 adalah 4.869 dan menukik tajam pada April 2025 menjadi 4.622.
Sektor-sektor yang sangat bergantung pada ekspor, seperti otomotif, barang industri, dan barang mewah, menjadi yang paling terdampak karena sangat tergantung pada stabilitas perdagangan global. Investor melihat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan terganggunya rantai pasokan internasional sebagai sinyal buruk yang harus direspon dengan perubahan portofolio investasinya.
Bahkan nilai tukar Euro juga menajdi korban dan mengalami pelemahan karena investor mengalihkan dananya ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas dan obligasi pemerintah Amerika Serikat. Melemahnya Euro memang memberi keuntungan kompetitif bagi sebagian eksportir Eropa, tetapi di sisi lain mencerminkan menurunnya kepercayaan pasar terhadap prospek ekonomi kawasan.
Produksi industri dan laba perusahaan pun ikut terdampak, terutama di negara-negara yang basis ekonominya bertumpu pada ekspor seperti Jerman. Sektor perbankan Eropa juga tidak luput dari tekanan. Bank-bank yang memiliki eksposur besar terhadap pembiayaan perdagangan dan industri manufaktur menghadapi peningkatan risiko kredit.
Simak juga Video: Sri Mulyani soal Inflasi RI Rendah: Tak Terkait dengan Daya Beli
Indonesia Terjaga
Di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, sektor jasa keuangan di Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang kuat. Hal ini terlihat dari kondisi permodalan dan likuiditas yang tetap sehat, serta fungsi intermediasi keuangan yang berjalan dengan baik.
Industri perbankan, pasar modal, dan asuransi juga terus mencatatkan kinerja yang positif, menandakan bahwa sektor ini masih berada dalam level yang stabil dan terkendali. Capaian ini tidak terlepas dari efektivitas langkah pengawasan dan kebijakan yang telah dijalankan oleh OJK, serta kerja sama yang erat dengan pihak-pihak terkait seperti Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.
Kita melihat pasar modal mengalami tekanan seperti juga pasar modal negara lain seperti China dan Eropa. Per akhir Juni 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada pada level 6.927,68, mencatatkan penurunan 2,15% sejak awal tahun (ytd).
Penurunan ini merupakan dampak dari tekanan di pasar saham akibat ketidakpastian global dan juga dinamika kondisi dalam negeri yang memengaruhi sentimen investor. Kapitalisasi pasar juga mengalami penurunan akibat dari penyesuaian investor asing.
Ini dialami juga oleh pasar saham di luar negeri. Secara keseluruhan, meskipun pasar saham mengalami koreksi, dinamika sektoral menunjukkan adanya peluang dan potensi sektor tertentu yang menarik bagi investor yang selektif.
Stabilitas dan ketahanan sektor perbankan Indonesia masih tetap terjaga dengan baik. Permodalan perbankan dinilai kuat, tercermin dari rasio Kecukupan Modal (KPMM) sebesar 25,51% yang berada di atas tingkat memadai untuk menghadapi berbagai risiko.
Selain itu, kondisi likuiditas perbankan cukup aman dengan rasio asset lancar terhadap simpanan diatas 28%. Sudah dapat diduga, pertumbuhan kredit mengalami perlambatan sebagai imbas ketidakpastian perdagangan global.
Pada Juni 2025, kredit perbankan tumbuh sebesar 8,43% atau lebih rendah dibanding bulan Mei 2025. Perlambatan ini terutama terjadi di sektor industri pengolahan serta perdagangan besar dan eceran.
Terdapat kenaikan sedikit rasio kredit bermasalah (NPL) dimana NPL gross naik menjadi 2,29%, dan NPL net 0,85%. Dana Pihak Ketiga (DPK) mencatat pertumbuhan 4,92% yoy, menandakan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tetap tinggi.
Secara keseluruhan, meski menghadapi beberapa tekanan, sektor perbankan tetap menunjukkan fondasi yang kokoh dalam menjaga stabilitas dan mendukung perekonomian nasional. OJK dan industri keuangan tetap harus proaktif menjaga kewaspadaan terhadap berbagai risiko global yang bisa berdampak ke dalam negeri.
Oleh karena itu, upaya mitigasi risiko terus diperkuat, termasuk dengan memantau potensi tekanan dari luar, menjaga ketahanan lembaga keuangan, dan mendorong transformasi digital serta inovasi agar sektor keuangan semakin efisien dan adaptif.
Kita harus mengapresiasi sektor jasa keuangan Indonesia yang tetap stabil dan mampu menjalankan perannya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Mari bersama sama mendukung secara penuh langkah langkah OJK dalam menjaga sektor keuangan dan kepercayaan masyarakat untuk mendorong stabilitas, integritas, dan keberlanjutan Sektor Jasa Keuangan (SJK) Indonesia. Ini penting mengingat 'sepak terjang' presiden Trump belum berhenti yang dibuktikan dengan ancaman tarif baru ke Meksiko dan Kanada.
Abdul Mongid
Gurubesar Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Negeri Surabaya
Ekonom Senior Segara Economic Research Institute
Simak juga Video: Sri Mulyani soal Inflasi RI Rendah: Tak Terkait dengan Daya Beli