Laporan dari Istanbul

Diboyong BI, 7 Desainer Lokal Unjuk Gigi di Ajang Fesyen Turki

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Jumat, 22 Agu 2025 08:30 WIB
Bank Indonesia (BI) memboyong tujuh desainer lokal ke Turki untuk tampil di ajang fesyen internasional Istanbul Fashion Connection (IFCO) 2025/Foto: Fadhly Fauzi Rachman
Istanbul -

Bank Indonesia (BI) memboyong tujuh desainer lokal ke Turki untuk tampil di ajang fesyen internasional Istanbul Fashion Connection (IFCO) 2025 lewat Indonesia International Modest Fashion Festival (IN2MOTIONFEST). Ajang itu digelar selama tiga hari, 20-22 Agustus 2025 di Istanbul, Turki.

Ada tujuh brand lokal yang berangkat, yakni Althafunnisa by Karina, Anfiha, Dama Kara, Deden Siswanto, EIWA, Reborn29, dan Silla Dawilah. Mereka adalah bagian dari program pembinaan Industri Kreatif Syariah Indonesia (IKRA) bersama BI, yang menargetkan pelaku UMKM fesyen agar bisa menembus pasar global.

Ketua Dewan IKRA, Ali Charisma, menjelaskan ajang IFCO awalnya digelar eksklusif untuk perusahaan-perusahaan Turki. Namun sejak 2024, Indonesia menjadi negara pertama yang diizinkan bergabung setelah negosiasi yang dilakukan.

"Tadinya IFCO ini tertutup untuk umum. Pemerintah Turki membuat event ini khusus untuk boosting ekspor mereka. Tapi tahun lalu saya negosiasi langsung atas nama asosiasi, akhirnya kita diizinkan bergabung. Tahun ini adalah tahun kedua Indonesia ikut," ujar Ali di Istanbul, ditulis Jumat (22/8/2025).

Menurut Ali, kehadiran desainer Indonesia justru menambah daya tarik bagi buyer internasional. Para buyer dinilai tertarik pada produk-produk asal Indonesia.

"Booth Indonesia termasuk yang paling ramai. Buyer-nya bukan cuma dari Turki, tapi banyak dari Timur Tengah, Eropa, sampai Amerika. Mereka tertarik karena kita bawa produk handmade, berbasis UMKM, bukan pabrik besar. Justru itu yang mereka cari," jelasnya.

Ali menambahkan, strategi kurasi desainer yang diusung IKRA memang diarahkan ke berbagai segmen pasar internasional. Ada yang ditargetkan ke Eropa-Amerika, ada juga yang difokuskan ke Timur Tengah.

"Kalau Turki cenderung suka yang modern. Timur Tengah lebih suka muslim wear dan baju malam. Kami plot desainer berdasarkan kekuatan dan target market masing-masing," kata Ali.

Dari sisi model bisnis, sebagian besar buyer yang datang ke booth Indonesia menjalankan skema B2B alias grosir untuk butik, retail online, hingga private label. Meskipun belum ada transaksi dalam jumlah besar seperti department store, Ali menyebut kapasitas produksi para desainer juga masih di level UMKM.

"Kalau nanti ada permintaan besar, kita punya jaringan yang bisa menangani. Tapi untuk sekarang, ini momentum membangun jejaring dan validasi produk kita di pasar dunia," ucapnya.

Yang menarik, meski BI memberi dukungan besar-mulai dari booth hingga fashion show-para desainer tetap dituntut mandiri. Dengan partisipasi di IFCO, menurutnya Indonesia tak sekadar memamerkan busana, namun juga warisan budaya, pemberdayaan komunitas, hingga keberlanjutan.

"Jadi itu juga melihat komitmen dan kemauan para desainer untuk go global. Biar nggak kayak dipilih terus akhirnya cuma didorong-dorong, tapi dari mereka nggak ada effort gitu. Jadi memang sengaja, kalau untuk yang global ini memang dilihat dari minat dari teman-teman juga gitu," jelasnya.

Salah satu peserta, Nurdini Prihastiti, founder Dama Kara, mengaku terkejut dengan antusiasme pasar global. Ini pertama kali brand-nya bisa tampil di Istanbul setelah tahun sebelumnya juga diboyong BI ke ajang fesyen di Paris.

"Responsnya luar biasa. Kami dapat buyer dari Amerika, Dubai, Istanbul, sampai Eropa. Ini memberi insight bahwa produk Indonesia ternyata bisa diterima di pasar global," ujar Nurdini.

Perempuan yang akrab disapa Dini itu menjelaskan, Dama Kara dikenal dengan pendekatan fesyen tradisional dan sosial. Mereka mengusung teknik batik, bordir tangan, dan jahit jelujur yang melibatkan ibu-ibu lokal hingga penyandang disabilitas. Sebagian keuntungannya bahkan digunakan untuk mendanai pelatihan dan pemberdayaan komunitas.

"Kami berkolaborasi dengan tiga yayasan, termasuk Dama Kara Foundation. Hasil karya mereka kami desain jadi produk fesyen, dan mereka mendapat royalti dari penjualan. Ini bukan cuma bisnis, tapi misi," jelasnya.

Nurdini Prihastiti, founder Dama Kara. Foto: Fadhly Fauzi Rachman

Selain Dama Kara, brand lain yang hadir adalah Anfiha, milik desainer Andi Fitri Hartuti. Brand Anfiha ini mengusung konsep keberlanjutan dengan menyatukan nilai ekologis dan budaya.

"Yang benar-benar membedakan Anfiha adalah komitmen kami terhadap keberlanjutan. Kami memilih material yang ramah lingkungan dan mudah terurai untuk setiap koleksi. Ini adalah langkah nyata untuk mengurangi jejak ekologis kami," ujar Andi.

Namun keberlanjutan tak cuma soal bahan. Anfiha mengaku konsisten memasukkan sentuhan etnik dalam desain-desainnya sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya Indonesia. "Bagi kami, menghargai budaya adalah nilai inti dari brand ini. Setiap material yang kami pilih selalu membawa unsur etnik Indonesia," lanjutnya.

Anfiha juga termasuk dalam brand yang telah melalui proses kurasi bersama IKRA dan Bank Indonesia. Menurut Andi, pembinaan yang diberikan sejak awal, mulai dari pengembangan koleksi, pemahaman pasar global, hingga strategi branding, sangat membantu menyiapkan Anfiha untuk panggung internasional.

Ajang IFCO di Istanbul Foto: Fadhly Fauzi Rachman

Tonton juga Video: Mendag Nilai JMFW 2026 Gerakkan Ekosistem Fesyen




(fdl/fdl)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork