Rusaknya fasilitas umum dan kantor pemerintahan dengan total kerugian hingga ratusan miliar rupiah, ketidakstabilan sosial dan keamanan, kaburnya investor asing dari Indonesia, serta penurunan produktivitas industri merupakan sederet dampak buruk dari aksi unjuk rasa berkepanjangan.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan jika kondisi ini terus berlanjut, ekonomi nasional berpotensi goyah. Terutama sumber ekonomi dari sektor-sektor yang sangat bergantung pada kepastian keamanan seperti pariwisata.
"Saya kira yang paling terdampak ini sektor pariwisata. Kalau kita lihat banyak travel warning ke Indonesia. Bahkan kami di Indef, ada meeting dengan mitra dari luar yang batal datang ke Indonesia, padahal seharusnya diadakan minggu ini," kata Tauhid kepada detikcom, Selasa (2/9/2025).
Meski begitu, menurutnya peristiwa demonstrasi dan kerusuhan akhir pekan kemarin masih belum cukup menimbulkan dampak ekonomi lebih jauh, terutama ke sektor tenaga kerja. Walau tentu dalam periode tersebut, banyak sektor usaha termasuk pariwisata mengalami kerugian.
"Kalau PHK banyak, nggak. Karena biasanya PHK terjadi kalau kerusuhan berlangsung cukup lama, sementara ini cepat ditangani. Tapi biasanya mereka lakukan efisiensi biaya karena mungkin wisatawan atau tamu yang tadinya sudah on schedule menunda atau batal datang," paparnya.
"Banyak tidaknya PHK itu akan sangat tergantung seberapa cepat pemerintah menangani ini. Kalau cepat, mungkin tidak banyak. Tapi kalau misalnya ini nggak selesai, pasti mereka akan menunda investasi. Dampaknya ke tenaga kerja, misalnya mereka akan wait and see dulu untuk ekspansi, terutama investor dari luar. Jadi lapangan kerja baru ikut turun," jelasnya lagi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal berpendapat aksi demonstrasi yang berkepanjangan hingga berakhir ricuh seperti yang terjadi pada akhir pekan lalu dapat memberikan dampak buruk terhadap perekonomian nasional.
Menurutnya, salah satu dampak yang paling jelas terlihat adalah kerugian finansial akibat kerusakan berbagai fasilitas umum dan aset, baik milik negara maupun swasta. Meski begitu, kerugian dari perusakan aset itu belum cukup parah atau langsung membuat dunia usaha jatuh sampai harus melakukan PHK massal.
"Jelas kalau dari perusahaan memang ada kerugian ekonomi, pasti ada di situ ya. Kerugian finansial dari fasilitas yang rusak, dan juga mungkin aset-aset individu. Tapi kalau sampai kepada PHK, saya pikir di sektor formal sih tidak," kata Faisal.
Alih-alih dunia usaha, menurut Faisal, kericuhan paling berdampak terhadap mereka yang bekerja di sektor informal. Sebab berbeda dengan perusahaan atau sektor swasta yang bisa menerapkan kerja dari rumah (WFH) untuk sementara waktu, mereka yang bekerja di sektor informal atau usahanya masih berskala mikro-kecil harus kehilangan potensi pendapatan imbas demo.
"Penghasilan yang berkurang itu mungkin terjadi terutama di sektor informal yang terganggu. Karena tidak bisa lagi jualan, yang mestinya jadi ojek tidak bisa lagi karena ada demo. Nah, sektor informal biasanya lebih terganggu oleh kondisi seperti itu. Kalau formal kan mereka bisa WFH, misalnya begitu ya," jelasnya.
Meski begitu, ia tidak memungkiri jika aksi unjuk rasa yang berujung kericuhan terus berlanjut atau munculnya demonstrasi baru ke depan akan memberikan dampak yang cukup berat, bahkan untuk sektor formal. Ujung-ujungnya dunia usaha melakukan efisiensi atau PHK sebagian pekerjanya.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah dapat dengan cepat mengatasi berbagai permasalahan yang memicu masyarakat unjuk rasa, seperti ketimpangan ekonomi, penggunaan anggaran negara yang tidak efektif, dan lain sebagainya, guna mencegah potensi demonstrasi di masa depan.
"Tapi sekali lagi kalau kemarin berlanjut-lanjut, nah itu yang bisa berdampak juga sampai ke sektor formal. Tapi Alhamdulillah sudah tidak demo lagi," ucapnya.
Simak juga Video 'Bos BPS Dicecar Anggota DPR soal Data Ekonomi Tumbuh 5,12%':
(igo/fdl)