Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2026 akan berada di kisaran 5,0% hingga 5,4% (yoy).
Angka ini lebih rendah dari target Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang ingin mendorong ekonomi ke level 6%.
Ketua Umum APINDO, Shinta W. Kamdani mengatakan, ramalan ekonomi dari pihaknya menggambarkan prospek positif namun tetap memerlukan kewaspadaan terhadap berbagai potensi risiko.
Shinta mengatakan APINDO memproyeksi kuartal I-2026 akan menjadi periode dengan momentum terkuat, ditopang oleh seasonal drivers seperti Tahun Baru, Imlek, Ramadan, dan Idul Fitri.
Kondisi itu diyakini memberikan multiplier effect signifikan pada sektor perdagangan, logistik, akomodasi, pariwisata, dan industri konsumsi.
Namun, APINDO mengingatkan adanya potensi perlambatan pada kuartal II dan III menyusul meredanya pengaruh musiman dan jika tidak ada kebijakan pendukung pertumbuhan.
"APINDO juga menyoroti bahwa sejumlah sektor usaha masih tertinggal dari pertumbuhan nasional, kondisi ini menegaskan perlunya strategi lintas sektor untuk mendorong pertumbuhan lebih inklusif dan berkelanjutan," papar Shinta dalam konferensi pers di Kantor APINDO, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Proyeksi APINDO
Shinta juga memproyeksikan inflasi 2026 di kisaran 2,5 ± 1 persen, selaras target BI, ditopang ekspektasi yang terjaga, kapasitas produksi memadai, serta tekanan harga impor yang stabil. Inflasi volatile food juga diperkirakan rendah dengan koordinasi TPIP-TPID dan penguatan ketahanan pangan.
Defisit APBN 2026 diproyeksikan 2,7%-2,9% PDB, sehingga disiplin fiskal melalui optimalisasi pendapatan, efisiensi belanja, dan mitigasi risiko kuasi-fiskal tetap krusial.
Rupiah diperkirakan bergerak di Rp 16.500-Rp16.900 per dolar AS, mencerminkan tekanan eksternal yang kuat akibat volatilitas global dan potensi kenaikan suku bunga The Fed menyusul lonjakan inflasi AS.
Dalam kondisi ini, ruang penurunan suku bunga BI pada awal 2026 terbuka, meski dapat menyempit jika imported inflation meningkat. Karena itu, Bank Indonesia perlu menyeimbangkan stabilitas nilai tukar dan dukungan terhadap pertumbuhan.
Dalam Outlook 2026, APINDO menyoroti peluang ekspor dari reorientasi rantai pasok global. Diversifikasi pasar ke Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin perlu dipercepat, sambil menjaga penguatan perdagangan dengan Tiongkok, AS, India, dan Malaysia.
Optimisme perjanjian dagang dengan AS serta percepatan 19 PTA/FTA/CEPA, 12 ratifikasi, dan 14 perundingan, termasuk EU-CEPA 2027, menjadi instrumen penting. Indonesia juga harus mewaspadai lonjakan impor akibat tarif AS dan melemahnya permintaan di pasar utama.
Di sisi domestik, tekanan fiskal dari pemangkasan transfer ke daerah (TKD) dan shortfall pajak menuntut modernisasi administrasi perpajakan. Hambatan struktural masih besar, terlihat dari lemahnya konsumsi karena susutnya kelas menengah, tingginya informalitas, pengangguran muda, rendahnya kualitas tenaga kerja, serta investasi pencipta kerja yang melemah.
"Risiko premature deindustrialization meningkat, sementara daya saing tertekan oleh biaya logistik, energi, suku bunga, dan birokrasi. APINDO juga menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan kebijakan upah 2026 agar tetap berbasis data, mempertahankan daya saing industri, dan menciptakan lapangan kerja yang luas, sejalan dengan ketentuan PP 36/2021 jo. PP 51/2023 serta putusan Mahkamah Konstitusi," tutupnya.
(ily/hns)