Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida mengatakan, hal ini terjadi lantaran produk yang disekuritisasi oleh perbankan memiliki nilai aset yang cukup bagus. Pelepasan aset itu sendiri dianggap tak sepadan dengan imbal hasil penyaluran KPR yang dirasa belum cukup kencang di Indonesia.
"Mungkin justru untuk mencari produknya yang disekuritisasi itu tidak mudah. Kalau kita lihat KPR, yang disekuritisasi itu kan installment atau cicilan KPR nya. Cicilan KPR itu kan jangka panjang, apa lagi untuk MBR, mereka kan biasanya langsung potong gaji. Pembayarannya itu sudah lebih pasti, jadi risikonya harusnya lebih kecil. Jadi buat bank ini adalah aset yang bagus. Jadi bank barang kali berpikir untuk melepas karena ini aset bagus," katanya saat ditemui dalam acara Asian Fix Income Summit di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/9/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau bank melihat ini aset bagus, mungkin mereka agak berpikir untuk melepas," ungkapnya.
Menurutnya, hal ini bisa diatasi apabila penyediaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat bisa stabil sehingga penyaluran KPR juga bisa terus bergulir agar aset yang dilepas sepadan dengan yang didapatkan nantinya.
"Karena kalau mendorong kan harus dua sisi. Pertama, produknya (rumah) harus didorong supaya lebih banyak lagi bank yang mau mensekuritisasi. Kedua, pada saat sudah banyak produknya, kita harus dorong dari sisi permintaan (buying side)," tutur dia.
"Karena sebetulnya kalau dilihat pemahaman, nanti kan bank juga bisa memberikan KPR lebih banyak lagi dan juga memiliki debitur yang kualitasnya sama. Sehingga bagi bank harusnya tidak menjadi masalah," tukasnya. (eds/ang)