"Lihatlah nilai tukar juga dengan nilai tukar mata uang negara lain, ada perbandingan. Jangan lihat nilai tukar itu hanya pada level psikologis, tapi juga lihat seperti harga barang dan jasa serta ada perubahan atau tidak," kata Doddy dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9, di Kemenkominfo, Jakarta Pusat, Senin (10/9/2018).
Dia mengungkapkan, jika perubahan suatu nilai tukar tidak terlalu cepat dan signifikan jangan diartikan bahwa sebuah negara sedang mengalami krisis.
"Bandingkan dengan negara pesaing atau negara yang setara. Kalaupun faktanya sekarang kita lihat melemah (rupiah), tapi kan masih jauh lebih baik daripada negara-negara seperti Turki dan Argentina," imbuh Doddy.
Doddy menjelaskan, perubahan nilai tukar yang cepat akan mempengaruhi dunia usaha. Seperti yang terjadi pada 1998. Saat itu biaya produksi perusahaan, biaya impor sangat tinggi dan turut mempengaruhi ekonomi Indonesia.
"Jadi idealnya bagi pelaku ekonomi dan masyarakat umum serta korporasi jangan kemudian terperangkap dengan melihat nilai tukar saja. Tapi juga lihat indikator lainnya," jelas dia.
Pergerakan dari level Rp 13.500 ke Rp 14.500 dinilai masih cukup baik dan tidak terlalu besar jika dibandingkan negara pesaing.
Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter secara penuh mendukung langkah yang ditempuh pemerintah dalam mengendalikan defisit neraca transaksi berjalan.
Dalam dinamika harian, BI akan tetap konsisten dan sekuat tenaga untuk melindungi rupiah dari pelemahan yang cepat dan tajam, serta akan terus memastikan pergerakan likuiditas dan efisiensi di pasar valuta asing Indonesia tetap terjaga.