PT Garuda Indonesia dapat peringatan keras dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham maskapai yang memiliki kode GIAA ini berpotensi didepak dari perdagangan saham BEI alias delisting.
Potensi delisting merujuk pada Pengumuman Bursa No. Peng-SPT-00011/BEI.PP2/06-2021 tanggal 18 Juni 2021 perihal Penghentian Sementara Perdagangan Efek PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).
Dalam salah satu aturan bursa apabila perusahaan mengalami suspensi atau penghentian sementara perdagangan selama 24 bulan berturut-turut, delisting bisa dilakukan
"Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (Perseroan) telah disuspensi selama 6 bulan dan masa suspensi akan mencapai 24 bulan pada 18 Juni 2023," tulis pengumuman BEI dikutip Selasa (21/12/2021).
Hingga kini, dari data Laporan Bulanan Registrasi Pemegang Efek Perseroan per 30 November 2021 masih ada 2.899.000.371 lembar saham yang dimiliki publik. Jumlah itu sekitar 11,19% dari total saham GIAA.
Sementara itu bila dirinci lebih lengkap, saham Garuda dimiliki paling banyak oleh pemerintah Indonesia sebanyak 15.670.777.621 atau 60,54%. Sisanya dimiliki perusahaan PT Trans Airways sebanyak 7.316.798.262 atau 28,27%.
Lalu apabila Garuda benar-benar delisting alias didepak dari bursa, bagaimana nasib uang modal dari para pemegang sahamnya?
Menurut Direktur Utama Mega Investama Hans Kwee apabila sebuah perusahaan harus delisting di bursa, investor memiliki dua opsi soal dana investasinya. Pertama, memperjuangkan untuk menjual saham di luar bursa, opsi ini bisa memberikan kesempatan pengembalian modal investasi.
"Kalau sudah delisting sebenarnya investor masih bisa jual beli saham tapi di luar bursa. Jadi antar perorangan bukan di bursa," ungkap Hans kepada detikcom.
Baca halaman berikutnya
Simak Video "Jelang Akhir Tahun, Garuda Tebar Diskon Tiket Pesawat"
(hal/zlf)