Akselerasi penyaluran pembiayaan berdampak positif pada pendapatan setelah distribusi bagi hasil yang mencapai Rp 463,16 miliar, meningkat 29,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal ini mendorong net imbalan perseroan juga meningkat dari 5,14% pada 2020 menjadi 5,61% pada 2021.
"Meski ekspansif dalam menyalurkan pembiayaan, kami tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian, tercermin dari rasio pembiayaan bermasalah (net performing financing/NPF) gross yang turun dari 5,28% menjadi 3,42%," kata Indra.
Pada saat yang sama, perseroan berhasil menekan biaya dana yang tercatat Rp 257,5 miliar pada 2021, turun 17,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Menariknya, penurunan biaya dana ini terjadi ketika DPK tumbuh sebesar 18,6% menjadi Rp 7,88 triliun pada 2021 dibandingkan dengan Rp 6,64 triliun pada 2020.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan biaya dana dipengaruhi oleh faktor peningkatan dana murah (current account saving account/CASA) yang tumbuh pesat selama 2021. Porsi CASA terhadap total DPK meningkat, dari 28,1% pada 2020 menjadi 34,9% pada 2021. Sebaliknya porsi deposito terhadap DPK menyusut dari 71,9% menjadi 65,1%.
"Kenaikan DPK setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, tingkat kepercayaan publik yang semakin baik sehingga semakin banyak nasabah yang mengamanahkan dananya untuk dikelola BJBS. Kedua, likuiditas kami sangat mencukupi untuk menopang rencana bisnis kami ke depan," ujar Indra.
Pada akhir 2021, perseroan mencatatkan total aset sebesar Rp 10,36 triliun, meningkat 16,6% dibandingkan dengan 2020 yang tercatat Rp 8,88 triliun. Rasio intermediasi atau financing to deposits ratio (FDR) BJB Syariah pada akhir 2021 tercatat 81,55% dan capital adequacy ratio (CAR) tercatat 23,47%.
"Dengan kinerja positif selama 2021, kami optimistis menyambut tahun-tahun mendatang. Kami kembali masuk ke jalur cepat dalam pertumbuhan bisnis dan profitabilitas," ujar Indra.
(aid/dna)