Keputusan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) menetapkan nilai nominal saham sebesar Rp 1 per saham sebelum IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) 11 April lalu masih menjadi sorotan sejumlah kalangan. Para pihak tersebut beranggapan, dengan nilai nominal saham sebesar itu investor lama GoTo memiliki potensi keuntungan besar karena membeli saham dengan harga super murah.
Pengamat Pasar Modal Fendi Susiyanto mengatakan, banyak terjadi misperception terkait dengan modal disetor yang dijadikan sebagai acuan investor dalam melakukan pembelian atau akuisisi suatu perusahaan. Ia mencontohkan investasi Telkomsel ke GoTo senilai Rp 6,4 triliun yang equivalen dengan kepemilikan 89.125 lembar saham sebelum stock split (2,7 persen).
"Banyak yang menilai kok bisa modal disetornya GoTo hanya sebesar Rp 800,69 miliar, sementara nilai perusahaan sudah menggelembung menjadi Rp 231 triliun (288 kali dari nilai modal disetornya). Padahal faktanya, total modal GoTo sebelum IPO itu sudah mencapai Rp 139,02 triliun (31 desember 2021). Memahami modal perusahaan harus menyeluruh, jangan sepotong-sepotong," jelas Fendi yang juga CEO Finvesol Consulting, sebuah lembaga konsultasi investasi di pasar modal, saat menjadi pembicara dalam diskusi Polemik Special Trijaya dengan Tema: "Isu Investasi Telkomsel, Fakta atau Fitnah ?", di Jakarta, Selasa (12/7).seperti dikutip, Kamis (14/5/2022) lalu.
Baca juga: Menakar Investasi Telkomsel di GoTo |
Ia mengungkapkan, berdasarkan laporan keuangan GoTo tahun 2021 total modal GoTo sebesar Rp 139,02 triliun. Modal tersebut terbentuk dari sejumlah instrumen seperti modal disetor Rp 1,14 triliun, tambahan modal disetor (additional paid in capital) Rp 225,85 triliun, saham tresuri (Rp 7,19 triliun), cadangan kompensasi berbasis saham Rp 6,94 triliun.
Instrumen modal lainnya adalah akumulasi rugi (Rp 79,12 triliun), selisih kurs translasi laporan keuangan dalam mat uang asing (Rp 55,31 miliar) transaksi dengan kepentingan non pengendali (Rp 7,22 triliun) dan kepentingan non pengendali (Rp 1,29 triliun).
"Modal dasar dapat didefinisikan sebagai seluruh nilai nominal saham perseroan yang disebut dalam anggaran dasar perusahaan, dan modal dasar perseroan pada prinsipnya merupakan total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh perseroan terbatas. Anggaran dasar sendiri yang menentukan berapa jumlah saham yang dijadikan modal dasar," jelasnya.
Menurut Fendi, modal disetor (paid in capital) adalah saham yang telah dibayar penuh oleh pemegang atau pemiliknya. Modal disetor minimal 25 persen dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah. Dari definsi ini jelas sekali bahwa modal disetor adalah yang tercatat di akta perusahaan dan bukan sebagai nilai wajar perusahaan.
Ia mencontohkan, pada tahun 2021, modal disetor GoTo hanya senilai Rp 1,14 triliun atau sebanyak 1,14 triliun lembar saham dengan harga nominal Rp 1/saham. Dan tambahan modal disetor adalah selisih harga beli saham perusahaan dengan harga nominalnya. Jadi jika ada perusahaan A membeli saham GoTo pada harga Rp 300/saham sebanyak 1.000.000 lembar, maka akan dicatatkan pada neraca GoTo sebagai berikut:
Pertama, modal disetor Rp 1 x 1.000.000 lembar saham setara dengan Rp 1.000.000, dan kedua, tambahan modal disetor (Rp 300 - Rp ) x 1.000.000 lembar saham = Rp 299.000.000. Jadi nilai Rp 299 juta bukanlah berarti nilai beli Rp 1 juta sudah menjadi 299x lipatnya, tapi keduanya adalah merupakan harga beli investor untuk memiliki 1 juta lembar saham GoTo.
"Sekali lagi, kita mesti fair dan jujur ketika mengungkapkan data-data perusahaan publik ke masyarakat. Semua data itu dipublikasikan di bursa dan tentunya setiap keputusan perusahaan yang akan IPO seperti GoTo sudah melewati fase berjenjang dan mendapat persetujuan dari OJK. Semua ada aturannya dan itu wajar-wajar saja," kata Fendi.
Bersambung ke halaman selanjutnya.
(dna/dna)