Google dan BlackRock Duet Kembangkan PLTS di Taiwan

Google dan BlackRock Duet Kembangkan PLTS di Taiwan

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Selasa, 02 Jul 2024 08:29 WIB
Ilustrasi PLTS
Ilustrasi PLTS - Foto: Getty Images/iStockphoto/undefined undefined
Jakarta - Google dan BlackRock bakal duet untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya di Taiwan melalui New Green Power (NGP). Sekadar informasi (NGP) ini adalah perusahaan milik BlackRock.

Dikutip dari CNBC disebutkan Google akan menyuntikkan modal atau membeli saham NGP untuk memfasilitasi pembangunan jaringan pipa surya berskala besar itu. Namun rencana tersebut belum mengantongi persetujuan dari regulator.

Google belum mengungkapkan berapa besar investasi di NGP. Mereka menjelaskan, investasi tersebut bisa untuk meningkatkan energi bersih di jaringan listrik lokal Taiwan dan membantu Google untuk mencapai tujuan perusahaan ke net zero emission pada 2030 mendatang

Selain itu, PLTS ini juga diharapkan bisa membantu operasional pusat data mereka di Taiwan. Kemudian sebagian kapasitas energi bersih ini juga akan ditawarkan kepada pemasok dan produsen chip Google di wilayah tersebut.

"Kami harap bisa memperoleh hingga 300 (megawatt) energi surya dari jaringan pipa ini melalui perjanjian pembelian daya (PPA) dan sertifikat energi terkait (Sertifikat Energi Terbarukan Taiwan atau T-RECS) untuk membantu memenuhi permintaan listrik dari kampus pusat data, wilayah cloud, dan operasi kantor kami di Taiwan," kata Kepala Energi Pusat Data Global di Google, Amanda Peterson Corio dikutip dari CNBC, Selasa (2/7/2024).

Firma konsultan global EY menyebut Taiwan memproduksi hampir 60% dari chip semikonduktor dunia dan menyumbang pangsa prosesor AI canggih yang besar. Fasilitas fabrikasi chip, termasuk di antara fasilitas yang paling boros energi di dunia karena manufaktur chip merupakan proses yang panjang dan rumit.

Namun, data dari Administrasi Energi di bawah Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan mencatat, sekitar 97% energi Taiwan dihasilkan dari sumber yang kotor, termasuk batu bara dan gas alam. Hal ini menuntut perlunya peningkatan sumber energi terbarukan.

"Seiring dengan pertumbuhan permintaan layanan digital, yang didukung oleh AI dan teknologi yang berpusat pada data, menjadi keharusan untuk berinvestasi dalam energi bersih," kata Kepala Infrastruktur Iklim Global BlackRock, David Giordano.

Pada bulan Mei lalu, Singapura mengatakan bahwa mereka juga tengah mendorong pusat data hijau karena permintaan yang sangat besar untuk kecerdasan buatan membebani sumber daya energi. Sasarannya adalah untuk menyediakan setidaknya 300 megawatt kapasitas tambahan dalam waktu dekat, dengan menyasar energi hijau.

Laporan Boston Consulting Group mencatat, pengembangan energi terbarukan di Asia-Pasifik tumbuh pesat, tetapi dari basis yang rendah per tanggal 23 April. Pada tahun 2030, energi terbarukan diperkirakan akan mencapai 30% hingga 50% dari bauran energi di sebagian besar pasar di kawasan tersebut. Disebutkan pula bahwa investasi yang signifikan diperlukan. (shc/kil)