"Daya saing bisnis ini dibanding negara tetangga makin menurun. Kita masuk 13 negara terbawah dari 126 negara. Ini tantangan kita bagaimana menarik investor melakukan eksplorasi di Indonesia," kata Kepala Divisi Humas SKK Migas, Taslim Yunus, dalam diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (29/10/2016).
Kondisi ini amat berbahaya. Sebab, kebutuhan energi Indonesia terus melonjak, sementara produksi migas terus menurun. Sekarang saja Indonesia sudah impor minyak 800.000 barel per hari (bph).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau tidak ada antisipasi, Indonesia akan mengimpor minyak dan gas sampai 3 juta boepd 9 tahun lagi," ujarnya.
Impor migas memang sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia karena cadangan di dalam negeri yang semakin menipis. Tapi impor bisa diminimalkan karena masih ada kekayaan migas yang belum dieksplorasi.
Maka iklim investasi hulu migas di Indonesia perlu dibuat lebih atraktif supaya investor mau mencari migas. "Kita meyakini masih banyak migas di Indonesia. Sekarang kita eksplorasi 86% di daerah yang sudah mature. Potensi terbesar sebenarnya adalah di gas. Cekungan-cekungan kita lebih banyak mengandung gas ketimbang minyak," tukas Taslim.
Salah satu yang sedang diupayakan pemerintah adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010). Revisi PP 79/2010 ini akan memangkas pajak-pajak yang selama ini dibebankan pada investor saat eksplorasi dan produksi migas.
"Mudah-mudahan menjawab kendala yang kita hadapi sekarang. Tapi ke depan perlu upaya yang luar biasa, barangkali itu baru sebagian obat untuk menyembuhkan penyakit," ucapnya.
Pihaknya berharap revisi atas Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bisa menjawab persoalan ini. Iklim investasi di sektor hulu migas harus diperbaiki agar kedaulatan energi nasional tidak semakin melemah.
"UU Migas ke depan harus bisa menjawab tantangan ke depan, kita perlu 3,75 juta boepd di 2025. Revisi UU ini harus menjawab ketahanan dan kedaulatan energi kita," tutupnya.
(ang/ang)