Berdasarkan aturan hukum, Freeport tak bisa menuntut pemerintah dengan tuduhan pelanggaran KK karena Freeport sudah lebih dulu melanggar.
"Kalau dia lebih dulu melakukan pelanggaran, wanprestasi, otomatis dia tidak bisa menuntut pelanggaran prestasinya. Dalam hukum, saya kira juga di luar negeri sama, hukum Arbitrase juga sama. Siapa yang melanggar lebih dulu wanprestasi, maka dia tidak boleh menggugat. Kalau anda duluan ingkar janji, enggak boleh kamu nuntut," kata Ketua Dewan Pembina PERADI, Otto Hasibuan, usai pertemuan dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
PERADI mengungkapkan, Freeport telah melakukan berbagai pelanggaran di Indonesia. Di antaranya adalah pencemaran lingkungan. Sudah ada laporan dan data akurat dari cabang PERADI di Papua. PERADI pun berencana melakukan langkah hukum.
Selain melanggar ketentuan lingkungan hidup, Freeport juga dituding PERADI melanggar banyak ketentuan KK. Misalnya soal kewajiban divestasi saham 51% dan pemurnian mineral. Freeport belum menjalankan kewajiban itu meski sudah tercantum dalam KK.
"Bicara soal perjanjian, kami sedang menganalisis, bukankah Freeport yang sebenarnya melakukan pelanggaran kontrak terlebih dahulu? Dengan adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut, antara lain lingkungan hidup dan sebagainya. Itu sedang kami teliti," ucapnya.
Baca juga: 30.000 Pengacara Siap Bela Pemerintah Hadapi Freeport di Arbitrase
Pihaknya yakin pemerintah bisa menang di Arbitrase melawan Freeport.
"Saya yakin posisi pemerintah kuat, kami yakin sekali bahwa pemerintah kuat," tutupnya.
Sebagai informasi, Freeport kini sedang mengambil ancang-ancang untuk menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.President and CEO Freeport McMoRan Inc, Richard C Adkerson, menegaskan, Freeport bahwa tak dapat menerima Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah dan akan mempertahankan hak-haknya di KK.
"Posisi kami adalah kami tidak dapat menerima IUPK dari pemerintah dengan melepas KK, kita tidak bisa melakukan itu," kata Richard.
Freeport dan pemerintah masih punya waktu selama 120 hari sejak 18 Februari 2017 untuk mencari win-win solution. Jika tak tercapai titik temu, Freeport dapat mengambil jalan Arbitrase.
Selain persoalan arbitrase, menurut Otto, Freeport diduga terlibat dalam masalah lingkungan hidup.
"Kami mendapatkan informasi dan data-data yang sangat akurat, bahwa sebenarnya dugaan yang dilakukan Freeport ini sebenarnya juga cukup banyak. Terutama mengenai isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup ini rupanya sangat membahayakan untuk rakyat Papua. Oleh karena itu, kami juga mungkin akan melakukan legal action bagaimana caranya agar semua persoalan lingkungan hidup ini bisa diselesaikan, baik secara perdata, terutama mungkin pidana," pungkas Otto. (mca/hns)