Dirjen Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono menjelaskan kenapa Inalum hanya mengakuisisi hingga 51% saham Freeport Indonesia. Kok nggak sekalian 100%?
Besaran tersebut mempertimbangkan kemampuan investasi yang nantinya menjadi kewajiban Inalum karena memegang setengah saham Freeport Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang juga menjelaskan kenapa Indonesia melalui Inalum tidak mencaplok pasca kontraknya habis di 2021 mendatang.
Meskipun dalam kontrak tertulis hingga 2021, namun Freeport Indonesia bisa mengajukan perpanjangan.
"Memang kontrak periode pertama habis, tapi mengatakan dia bisa mengajukan perpanjangan dan pemerintah tanpa alasan yang wajar nggak bisa menunda. Di sini ada dispute, potensi masuk arbitrase," kata Bambang
Jika masuk ke arbitrase, maka akan terjadi masa tenggang yang kemungkinan menghentikan kegiatan pertambangan termasuk bawah tanah. Berhentinya operasi tambang bisa menimbulkan masalah baru ke depannya.
"Tambang nggak boleh berhenti, panjangnya tunnelnya hampir 500 km (seperti) Jakarta-Semarang dan sistem penambangannya block caving. Kalau nggak di-maintain ambruk, nggak bisa diambil ore (biji timah dan emasnya)," ujar Bambang.
Tidak hanya itu, jika akuisisi Freeport Indonesia dilakukan pasca kontraknya habis di 2021 juga tidak serta merta asetnya langsung menjadi milik Indonesia. Aset Freeport Indonesia yang sudah tetap harus dibeli.
"Kalau selesai 2021 nggak otomatis memiliki aset karena tertulis milik perusahaan sampai waktu 180 hari," tutur Bambang.
Baca juga: Nasib Freeport di Bawah Tanah |
Nilai akuisisi 51% saham Freeport Indonesia disepakati sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (kurs Rp 14.000). Modal tersebut akan bisa kembali dalam kurun waktu tiga tahun.
"Menurut inalum 2-3 tahun break event," ujar Bambang. (ara/dna)