Impor Migas Bikin Neraca Dagang Tekor, ESDM Bicara Pakai Kayu Bakar

Impor Migas Bikin Neraca Dagang Tekor, ESDM Bicara Pakai Kayu Bakar

Trio Hamdani - detikFinance
Sabtu, 17 Agu 2019 11:11 WIB
1.

Impor Migas Bikin Neraca Dagang Tekor, ESDM Bicara Pakai Kayu Bakar

Impor Migas Bikin Neraca Dagang Tekor, ESDM Bicara Pakai Kayu Bakar
Foto: Pradita Utama
Jakarta - Neraca dagang Indonesia kembali mengalami defisit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia kembali mencatatkan defisit neraca perdagangan pada Juli 2019 sebesar US$ 60 juta.

Penyebabnya disumbang oleh impor minyak dan gas (migas) yang masih tinggi, meski defisitnya lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun angkat suara soal kondisi tersebut. Begini informasi selengkapnya.
Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, bisa saja neraca perdagangan migas mengalami surplus, caranya dengan berhenti impor bahan bakar. Tapi tentu ada konsekuensinya.

"LPG kita impor, bensin impor, tapi kan apa LPG kita setop impornya, ganti lagi kayu bakar, ganti lagi minyak tanah?," kata dia di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Tentu saja itu bukan solusi yang ditawarkan. Dia mengatakan, Kementerian ESDM pun tengah berupaya mengontrol impor migas, salah caranya dengan memanfaatkan kompor listrik.

"Kita kan lagi berupaya ke kompor listrik," jelasnya.

Di samping itu, ada program B20 yang akan loncat ke B30 dan B50, serta secara bertahap akan loncat lagi ke B100. Ini akan mengarungi impor solar karena digantikan oleh biodiesel yang diproduksi dalam negeri.

"Gini, kalau migas, kalau yang jelek kita lagi berupaya. Bensin walaupun kita impornya tinggi tapi kan upaya negara bahwa ini subsidinya kita alihkan untuk pembangunan yang lain, kesehatan dan sebagainya kan juga bertahap berhasil," tambahnya.

Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa ekspor gas yang produksi dalam negerinya cukup baik bisa membuat neraca perdagangan surplus.

Sayangnya, banyak hal yang harus dipertimbangkan untuk mendorong ekspor gas. Salah satunya berlawanan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, di mana sumber daya energi tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata tetapi modal pembangunan nasional.

"Sekarang sudah mencapai angka 65,4% kita gunakan gas untuk domestik sebagai modal pembangunan, ciptakan lapangan kerja, agar sektor yang lain tidak impor," kata Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (16/8/2019).

Bahan bakar gas ini digunakan untuk banyak industri, mulai dari pembuatan pupuk, hingga petrokimia.

"Kalau hanya melulu ingin perbaiki neraca perdagangan ya sudah semua gas kita ekspor saja, tapi hasilnya apa kalau semua gas diekspor? pabrik pupuk tutup, pupuknya impor semua, pabrik petrokimia tutup karena bahan bakunya gas, akhirnya produk petrokimia kita impor, mau begitu?" jelas Djoko.

"Kalau ekspor ada lapangan kerja nggak buat yang bangun pipa? ada nggak lapangan kerja orang gali-gali pipa untuk jargas? nganggur semua," sebutnya.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan pihaknya terus berusaha mengurangi impor migas dengan berbagai cara. Salah satunya melalui optimalisasi penggunaan solar dengan campuran biodiesel B20 dan B30.

Selain itu, dia bilang kapasitas produksi Pertamina akan terus ditingkatkan agar mampu mensubstitusi kebutuhan migas di dalam negeri, sehingga impor juga bisa ditekan.

"Yang impor, beli dari Pertamina karena Pertamina mampu menyediakan seperti solar dan lain-lain. Ini juga untuk mengurangi impor kita," kata Arcandra.

Lebih jauh lagi, Indonesia akan mempertimbangkan untuk menerapkan bahan bakar dengan campuran minyak nabati 100% (B100) alias green diesel.

"Kalau teknologi sudah ada, tapi juga perlu waktu. Nggak bisa instan," ungkapnya.

Hide Ads