Ia juga mengapresiasi langkah Kementerian ESDM yang memberikan fleksibilitas kepada investor memilih skema kontrak migas karena kondisi lapangan migas yang berbeda-beda.
"Biarkan KKKS menentukan pilihan karena kondisi tiap-tiap lapangan tidak sama, sehingga bisa saja yang satu cocok dengan sistem cost recovery namun ada pula yang lebih cocok dengan gross split," tuturnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau banyak yang memilih cost recovery barangkali yang perlu dilakukan pemerintah melakukan pengawasan yang ketat dalam hal penggantian kepada investor," ujarnya.
Fahmy menjelaskan, dalam skema cost recovery investor melakukan investasi terlebih dahulu sampai produksi migas berhasil. Selanjutnya pemerintah mengganti investasi ke kontraktor.
"Begitu sudah dapat minyak maka semua pengeluaran investor baik investasi dan operasional akan diganti pemerintah dari APBN tetapi splitnya pembagian keuntungannya pemerintah 85%, 15% investor itu pun dari nett income setelah dikurangi pengeluaran," ujarnya.
Sedangkan dengan gross split, pemerintah tidak melakukan penggantian kepada investor.
"Gross split pemerintah nggak berikan penggantian sama sekali semua ditanggung investor tapi kompensasinya bagian dari investor lebih besar," tutupnya.
Sebelumnya, Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto menjelaskan dari 254 kontrak kerja sama, 200 di antaranya menggunakan cost recovery dan sisanya menggunakan gross split.
(ara/zlf)