Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan hingga kini masih banyak penjualan bijih nikel yang harganya terlalu rendah. Bahkan di bawah harga pokok produksi (HPP) penambang nikel.
Yunus memaparkan saat ini rata-rata HPP bijih nikel di Indonesia berkisar US$ 20-22 per ton, atau tepatnya US$ 20,34 per ton. Namun banyak smelter yang menjual di bawah harga tersebut.
"Disayangkan realitas yang ada sering terjadi transaksi penjualan di bawah HPP. Pasti nggak perhatikan good mining price," ujar Yunus dalam konferensi pers virtual, Senin (20/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini terjadi karena berlebihnya jumlah bijih nikel lokal dibandingkan dengan pabrik smelter yang mengolahnya. Yunus menjelaskan di Indonesia baru ada 11 pabrik smelter yang bisa menampung 30 juta ton bijih nikel.
Sementara itu jumlah pasokan nikel nasional mencapai 60 juta ton. Belum lagi penambang nikel sudah tak bisa lagi mengekspor nikel.
"Memang supply demand, itu tergantung serapan atau mulut daripada smelter, kapasitas input. Kan ada 11 smelter, ini bisa menyerap sampai sekitar 30 juta ton kapasitas inputnya. Kemudian produksi kita itu sekitar 60 jutaan ton," ungkap Yunus.
Kementerian ESDM sendiri sudah menerbitkan aturan Harga Patokan Mineral (HPM) untuk menjaga harga nikel. Aturan ini akan mengakomodir kebutuhan penambang nikel maupun pelaku usaha smelter.
Simak Video "Video: Melihat Kolam Super Gede di Area Tambang"
[Gambas:Video 20detik]