Mamit mengatakan Jerman dan Indonesia memang sangat tegang soal urusan nikel. Pasalnya, Jerman sangat membutuhkan pasokan nikel dari Indonesia untuk industri baterai listrik, sementara sumber dayanya tidak ada di negara tersebut.
"Kalau kita melihat bahwa nikel bahan baku utama pembuatan manufaktur di sana apalagi soal baterai di mana tren di sana berjalan di Eropa ke depan kebutuhan nikel akan sangat besar," ujar Mamit.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara yang kaya nikel justru memilih melarang ekspor nikel dan melakukan hilirisasi. Hal ini lah yang membuat Jerman bersitegang dengan Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini lah jadi polemik dengan Jerman kan pemerintah maunya hilirisasi, memang tren ke depan nikel ini mineral utama," ujar Mamit.
Sebelumnya, akun Twitter @Sam**Soh menjabarkan analisanya soal keterkaitan kedatangan Kedubes Jerman ke FPI dengan larangan ekspor nikel yang sudah diberlakukan sejak awal tahun ini.
Menurutnya, Jerman datang untuk mendapatkan keterangan soal pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus penembakan FPI dan Kepolisian.
Hal itu dilakukan perwakilan Jerman untuk membuat nama Indonesia makin buruk di kancah Internasional, utamanya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Jerman memang disebut sedang menyerang Indonesia lewat WTO soal larangan ekspor nikel.
Disebutkan juga bahwa Jerman merupakan negara paling besar yang menggunakan nikel di Eropa. Total kebutuhannya disebut mencapai 42% dari pasar di Eropa.
"Runtutan larangan ekspor nikel hingga simpati Jerman pada FPI bs ditarik benang merahnya. Mrk ternyata masih sakit hati pasca pemerintah kita yg stop ekspor nikel mentah sbg bahan baku pembuatan baja. Jerman sbg produsen utama baja di EU yg kuasai 42% pasar paling terimbas," cuitnya saat menjelaskan pandangannya tentang alasan Kedubes Jerman ke Markas FPI.
(upl/upl)