Ekspor komoditas batu bara dilarang untuk sementara di awal tahun 2022. Batu bara bakal disetop untuk dikirim ke luar negeri selama sebulan, mulai 1-31 Januari.
Kementerian ESDM telah menerbitkan surat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Nomor B- 1611/MB.05/DJB.B/2021 tanggal 31 Desember 2021 untuk melandasi keputusan larangan ekspor batu bara tersebut.
Keputusan setop sementara ekspor batu bara diambil untuk menindaklanjuti surat Direktur Utama PT PLN (Persero) tanggal 31 Desember 2021 perihal Krisis Pasokan Batubara untuk PLTU PLN dan IPP. Pada intinya PLN dan IPP menyampaikan kondisi pasokan batu bara saat ini kritis dan ketersediaan batu bara sangat rendah. Oleh karena itu Ditjen Minerba Kementerian ESDM mengambil tindakan.
"Persediaan batubara pada PLTU Grup PLN dan Independent Power Producer (IPP) saat ini kritis dan sangat rendah, sehingga akan mengganggu operasional PLTU yang berdampak pada sistem kelistrikan nasional," bunyi penjelasan dalam surat tersebut.
Pemerintah pun menilai dalam Pasal 157 ayat (1) PP Nomor 96 Tahun 2021 bahwa pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi wajib mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.
Lalu, pada pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 menyatakan bahwa pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi dapat melakukan penjualan ke luar negeri komoditas batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dalam negeri.
Dijelaskan juga dalam Pasal 62 huruf g Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2020 bahwa pemegang IUP atau IUPK wajib mengutamakan pemenuhan kebutuhan mineral dan batubara dalam negeri serta mematuhi pengendalian produksi dan penjualan.
Pengusaha batu bara pun mengaku terkejut atas keputusan pemerintah menyetop ekspor batu bara pada Januari 2022. Larangan ekspor batu bara dinilai terburu-buru dan minim diskusi dengan pelaku usaha.
"Solusi untuk mengatasi kondisi kritis persediaan batubara PLTU grup PLN termasuk IPP ini seharusnya dapat didiskusikan terlebih dahulu dengan para pelaku usaha untuk menemukan solusi yang terbaik bagi semua pihak," kata Ketua Umum APBI-ICMA Pandu Sjahrir dalam keterangannya.
Anggota APBI-ICMA disebut telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25% di tahun 2021. Bahkan sebagian perusahaan telah memasok lebih dari kewajiban DMO tersebut.
"Anggota APBI-ICMA pun selama ini juga senantiasa patuh menjalankan kebijakan harga patokan maksimal untuk pasokan batubara dalam negeri kepada PLTU PLN dan IPP," sambung Pandu.
Kadin Indonesia juga menilai larangan ekspor sementara untuk batu bara adalah kebijakan sepihak dan tergesa-gesa yang diambil pemerintah. Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid, saat ini pemerintah Indonesia sedang mencoba memulihkan perekonomian nasional yang sempat limbung dihantam pandemi.
"Ada peran penting pelaku usaha dalam memulihkan ekonomi nasional di masa pandemi, jadi kami sangat berharap, setiap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional seperti larangan ekspor batu bara ini harus dibicarakan bersama," kata Arsjad dalam keterangannya, Sabtu (1/1/2022).
Terlebih lagi saat ini perekonomian nasional sempat mengalami percepatan pemulihan akibat booming komoditas yang sangat dibutuhkan pasar global, salah satunya batu bara. Kadin Indonesia melihat, banyak negara yang membutuhkan batu bara dalam kapasitas besar dan harga tinggi, untuk menghidupkan kembali industrinya yang sempat mati suri akibat pandemi.
Terkait klaim langkanya pasokan, hasil penelusuran Kadin Indonesia, kata Arsjad, tidak semua PLTU grup PLN termasuk IPP mengalami kondisi kritis persediaan batu bara.
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kebijakan larangan ekspor batu bara yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sangat tepat. Sebab jika tidak dilakukan, pasokan listrik ke 10 juta pelanggan PT PLN (Persero) bakal terganggu akibat defisit batu bara yang dialami pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik BUMN kelistrikan tersebut.
"Jika keandalan PLN terganggu maka saya pastikan akan berdampak kepada masyarakat. Padahal saat ini listrik merupakan kebutuhan primer yang akan berdampak terhadap perekonomian nasional," ungkap Mamit, Minggu (2/12/2021).
Mamit menilai, di tengah kondisi perekonomian yang sudah mulai bergeliat sangat disayangkan jika keandalan suplai listrik ke masyarakat dan industri serta perkantoran terganggu karena stok batu bara bagi pembangkit milik PLN dan IPP terganggu.
Melihat cadangan kritis batu bara yang dialami PLN, Mamit mengingatkan agar Indonesia belajar dari pengalaman negara lain yang mengalami krisis energi karena tidak memiliki sumber daya alam yang mencukupi. Sementara Indonesia dengan sumber daya alam yang mencukupi akan sangat disayangkan jika sampai terancam krisis energi.
"Jika krisis ini sampai terjadi jelas melanggar pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekayaan sumber daya alam di Indonesia sudah sepatutnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia," terang Mamit.
Kebijakan larangan ekspor batu bara juga dapat dukungan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, dalam konteks kebijakan, larangan ekspor batu bara ini harus didukung karena seharusnya komoditas batu bara sesuai amanah pasal 33 UUD 1945.
Maksudnya, komoditas batu bara harus diutamakan untuk kepentingan dalam negeri. Salah satunya untuk pasokan bahan bakar pembangkit listrik.
"Kepentingan nasional harus di atas kepentingan ekspor, sekalipun lebih menguntungkan, ekspor harus nomor sekian. Karena menyangkut kepentingan publik yang lebih luas. Bagaimana mungkin kita banyak batu bara kemudian diekspor, tapi di dalam negeri malah mengalami kekurangan," kata Tulus dalam keterangannya.
Tulus menjelaskan, Indonesia pernah menikmati kejayaan di periode 'oil boom' alias kelebihan minyak bumi, bahkan kala itu Indonesia masuk jajaran negara pengekspor minyak mentah dunia.
Namun, kondisi tersebut kini berbanding terbalik di mana Indonesia harus bergantung pada impor minyak untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Hal itu menurutnya jangan sampai terjadi pada batu bara.
Tulus juga mengingatkan, larangan ekspor batu bara ini pun dilakukan demi menjaga pasokan listrik di dalam negeri. Menurutnya listrik diperlukan bukan hanya untuk kebutuhan rumah tangga semata, melainkan menjadi penggerak kegiatan ekonomi nasional melalui sektor industri.
"Ingat kasus 1965-1967 itu kan kita mengalami 'oil boom' karena kita produksi minyak melimpah ruah, kemudian diekspor keluar. Tetapi pada titik tertentu kita menjadi net importer, saat ini khususnya. Kita tidak ingin itu terulang di batu bara," tutur Tulus.