Krisis energi yang dialami Indonesia akibat pasokan batu bara dianggap adanya kesalahan dalam tata kelola sumber daya alam. Kondisi ini juga dianggap sekaligus alarm keras pentingnya sosialisasi dan mitigasi penerapan energi baru dan terbarukan di Indonesia sejak dini.
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto memandang larangan ekspor yang diberlakukan pemerintah hingga akhir Januari 2022 adalah sebuah langkah yang terpaksa diambil di tengah kondisi yang merugikan semua pihak.
Dirinya menilai kebijakan itu sekaligus kritik terhadap semua pihak, baik pemerintah selaku pembuat regulasi, PLN maupun perusahaan batu bara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau semuanya strict terhadap Pasal 33 UUD 45, semestinya tidak boleh terjadi keputusan ini. Akhirnya semua dirugikan, satu pihak karena ketidakpatuhan penambang batu bara memenuhi DMO disebabkan adanya disparitas harga yang sangat jauh dengan internasional," kata Sugeng, Rabu (5/1/2022).
Mengantisipasi fluktuasi harga batu bara, pemerintah, ucap Sugeng seharusnya mempersiapkan rentang harga DMO yang dinamis. Sementara di satu sisi dirinya mengamini adanya peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) PLN bila harga batu bara naik.
"Ada pintu lain maka ada namanya pajak ekspor batu bara, apabila melampaui harga DMO maka dinaikkan pajak ekspor," ucapnya.
Guna mengantisipasi krisis bahan baku PLN, Sugeng menyarankan pemerintah menggenjot berkali lipat kapasitas Bukit Asam sebagai BUMN penyedia kebutuhan energi primer. Di sisi lain, kewajiban DMO oleh pihak swasta harus diawasi dengan reward punishment. Pemerintah harus memberikan kemudahan bagi perusahaan batu bara yang memenuhi kewajiban itu.
"Beberapa perusahaan memenuhi DMO 25 persen. Sementara sebagian memilih membayar denda yang hanya 3 dolar per ton. Moral hazard pengusaha batu bara seharusnya juga ada. Efeknya ke semua pengusaha, bagi perusahaan batu bara yang komitmen terhadap ekspor, pasti akan ada penalti akibat larangan dari pemerintah saat ini, tetapi ada hal lain yang jauh lebih penting yaitu kepentingan nasional," terangnya.
Dalam kesempatan yang sama Sugeng berpendapat krisis batu bara untuk kebutuhan dalam negeri menjadi pengingat bahwa energi fosil sangat rentan.
"Maka kita perlu masuk energi baru terbarukan, terlebih memang semakin terbatas fosil ini, pasti fluktuatif dalam suplai and demand. Kalau tidak imbang, pasti akan terjadi disparitas harga, ada distorsi," paparnya.
Dia mengakui batu bara masih menjadi salah satu penyumbang terbesar pendapatan negara bukan pajak, namun dirinya kembali mewanti-wanti resiko semakin terbatasnya ketersediaan. Terlebih saat ini Indonesia sudah menandatangani Perjanjian Paris dan meratifikasi dalam hukum nasional melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.
"Batu bara sangat rentan karena menjadi komoditas yang semakin terbatas, apalagi sudah semakin dibatasi karena polutif. Kita juga sudah meratifikasi perjanjian Paris. Hal ini menjadi dasar bahwa EBT sebuah keharusan dilakukan mitigasi. Kalau tidak kita mengalami turbulensi," imbuhnya.
(das/zlf)