Faktor ini yang tidak dimiliki oleh sektor EBT sehingga sering kali analisa risiko untuk sektor EBT disamaratakan dengan sektor non EBT. Parahnya, apabila analisa risiko pembangkit EBT disamakan dengan risiko pembangkit fosil seperti PLTD, PLTG atau PLTU.
Yusrizki mengajak Otoritas Jasa Keuangan (OJK), SMI dan lembaga pembiayaan baik BUMN dan non-BUMN untuk bergerak cepat membangun sebuah pola pandang dan pembiayaan khusus proyek EBT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di tahun ini PLN akan membuka pengadaan untuk proyek de-dieselisasi yang akan memberikan volume besar bagi pergerakan EBT di Indonesia. Akan sangat ideal apabila sektor jasa keuangan turut berperan serta secara aktif dengan melihat dan merancang pola pembiayaan mulai dari proyek de-dieselisasi ini," demikian Yusrizki memaparkan.
Selain itu, Yusrizki juga menyarankan lembaga pembiayaan, khususnya perbankan, mengikut langkah SMI untuk melakukan net zero pledge.
"Langkah perbankan untuk masuk ke dalam net zero pledge akan menjadi salah satu katalis bagi percepatan investasi terkait net zero. Salah satu aspek net zero pledge bagi perbankan adalah dengan memperhitungkan emisi atas portfolio kredit mereka, atau Scope 3 sesuai definisi dari GHG Protocol," tuturnya.
"Net zero dalam kerangka portofolio kredit artinya jika perbankan memiliki satu portfolio kredit, misalnya untuk batu bara, maka bank tersebut harus menyeimbangkan portofolio kredit tersebut dengan dua atau tiga proyek EBT," tutup Yusrizki.
(ara/ara)