Utang Pemerintah Tembus Rp 7.000 T, Subsidi BBM Mau Diguyur Terus?

Utang Pemerintah Tembus Rp 7.000 T, Subsidi BBM Mau Diguyur Terus?

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Selasa, 05 Jul 2022 20:15 WIB
Warga membeli bbm subsidi jenis premium di SPBU Pertamina, Otista, Jakarta Timur, Jumat (15/11/2019). Pertamina berharap penyaluran BBM Bersubsidi tepat sasaran. Sebab yang terjadi di lapangan hingga kini BBM Bersubsidi masih banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang secara ekonomi tergolong mampu.
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Utang pemerintah terus bertambah, hal ini banyak diprotes fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Fraksi Partai Nasional Demokrat menyoroti utang pemerintah yang sudah menyentuh hingga Rp 7.000 triliun per tahun 2021.

Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) menyoroti soal rasio utang pemerintah yang sudah mencapai 40% lebih di tahun 2021.

Di tengah bengkaknya utang pemerintah, subsidi khususnya pada komoditas energi juga ikut membengkak. Lalu, apakah subsidi energi jadi biang kerok kenaikan utang pemerintah dan harus ditahan?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan bisa jadi subsidi energi berkontribusi pada kenaikan utang pemerintah. Pasalnya, kenaikan harga komoditas energi saat ini sedang tinggi-tingginya. Bila penerimaan negara tak cukup membendung subsidi energi, utang jadi solusi satu-satunya.

"Apakah ada kaitannya? Pasti ada korelasi dan hubungannya lah, semakin tinggi subsidi kan beban belanha makin meningkat. Kalau pendapatan negara dari pajak dan dari pendapatan penerimaan lain ya satu satunya solusi mau tak mau terbitkan utang," ungkap Mamit kepada detikcom, Selasa (5/7/2022).

ADVERTISEMENT

Mamit menilai peningkatan penerimaan pendapatan negara dari pajak dan booming harga komoditas pun tak mampu membendung kenaikan subsidi energi. Maka dari itu utang bisa saja jadi alternatif pembiayaan subsidi.

"Kalau saya lihat penerimaan meningkat ya benar, cuma beban subsidi kan meningkat lebih besar dari penerimaan sektor energi, misalnya dari sektor migas lifting aja terus turun maka pnbp tak akan tinggi. Mungkin bisa ditopang komoditas lain misanya batu bara cuma ya tetap aja nggak signifikan menurut saya," ungkap Mamit.

Melihat fakta-fakta tersebut menurutnya subsidi, khususunya pada sektor energi harus dibuat sangat selektif. Bukan dikurangi jumlahnya, namun harus dikendalikan penerimanya.

Bersambung ke halaman selanjutnya.

Sejauh ini pun pemerintah sudah mulai mencoba melakukan hal tersebut. Nah, kalau subsidi sudah tepat sasaran baru lah pemerintah bisa mengurangi jumlah besaran subsidi yang diberikan.

"Mulai saat ini pemerintah kan sudah mulai melakukan pembatasan subsidi. Saya kira ini akan sangat berpengaruh sekali makanya pemerintah berupaya untuk melakukan pembatasan dengan aplikasi. Harus daftar dulu untuk beli Pertalite dan LPG, kedua juga terus untuk golongan listrik rumah tangga kelas atas juga ada tarrif adjusment," papar Mamit.

"Pengelolaan subsidi juga akan diubah dari barang jadi orang, jadi ini caranya untuk menekan laju subsidi ini kalau tidak ya keuangan dan utang bisa jebol ya," lanjutnya.

Di lain pihak, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira punya pendapat berbeda. Subsidi yang diberikan pemerintah justru tak akan banyak berpengaruh pada utang. Malah selama ini sejak tahun 2014 atau saat Presiden Joko Widodo menjabat, subsidi justru terus berkurang.

"Subsidi energi sejak 2015 ke 2021 justru berkurang signifikan dibandingkan 2014. Artinya di pemerintahan Jokowi sebenarnya pemerintah terus memangkas energi, paling ekstrim adalah pengurangan dan pembatasan jumlah kuota premium, sehingga premium di Jawa Bali sulit ditemukan," papar Bhima kepada detikcom.

Masih banyak hal yang menurut Bhima lebih berkontribusi pada pembengkakan utang daripada subsidi energi. Misalnya, belanja modal dan barang yang dilakukan untuk instansi pemerintah.

Kemudian pembiayaan bunga utang lewat surat berharga negara (SBN). Bunga utang yang dipatok di harga pasar menbuat biaya penerbitan surat utang melonjak terus. Sementara pemerintah menurutnya makin agresif untuk menerbitkan utang.

Selain itu ada juga pembiayaan infrastruktur yang jumbo dilakukan pemerintah. Sejauh ini infrastruktur memakan uang banyak namun tak banyak outputnya yang bisa dirasakan masyarakat. Maka dari itu dia menilai yang membuat subsidi bengkak bukan subsidi, apalagi subsidi energi.

"Berkaitan dengan utang, artinya bukan salahkan subsidi energi kalau membengkak ini," ungkap Bhima.

Sebaliknya, Bhima bilang justru subsidi, khususnya pada sektor energi saat ini harus terus ditambah jumlahnya. Hal ini dilakukan demi menjaga daya beli masyarakat.

"Salah kalau mengurangi subsidi energi ketika masyarakat butuh jaga daya beli dari ancaman inflasi energi. Untuk fokus jaga daya beli subsidi mau nggak mau harus tambah," kata Bhima.


Hide Ads