Subsidi BBM Rp 502 T Tak Tepat Sasaran, Mending buat Bikin Tol-Sekolah

Subsidi BBM Rp 502 T Tak Tepat Sasaran, Mending buat Bikin Tol-Sekolah

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Kamis, 25 Agu 2022 21:51 WIB
Ketua Banggar DPR 2019-2024 Said Abdullah
Foto: dok. Istimewa: Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah
Jakarta -

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menilai beban subsidi energi Rp 502 triliun belum tepat sasaran. Dengan kata lain, sebagian besarnya mengalir pada golongan masyarakat mampu.

Sebelumnya, Pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang sangat besar hingga mencapai Rp 502 Triliun. Said mengatakan, Dana tersebut, hanya habis digunakan untuk mensubsidi harga energi yang saat ini 80%-nya ialah subsidi LPG 3 Kg masyarakat mampu.

Bahkan menurut, Said, perkiraan pemerintah pada Oktober nanti stok pertalite diperkirakan habis jika menyimulasikan dengan tren konsumsi sekarang ini. Subsidi solar juga tidak tepat sasaran karena gap harga solar subsidi dengan non subsidi sangat besar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak terjadi penyelundupan solar subsidi. Perubahan pola subsidi BBM dan LPG menjadi keniscayaan yang harus dirubah oleh pemerintah," tambahnya.

Dana sebesar itu idealnya dapat digunakan untuk pembangunan di berbagai sektor yang dibutuhkan masyarakat kelas bawah dan kegiatan produktif, misalnya pendidikan, kesehatan, infrastruktur energi dan lain-lain. Ia pun melanjutkan dengan memberi contoh besaran dana subsidi tersebut apabila dikonversi ke sektor lain.

ADVERTISEMENT

Said mengatakan, besaran anggaran subsidi BBM tersebut dapat digunakan untuk membangun ruas tol baru, sepanjang 3.501 km dengan perkiraan investasi Rp 142,8 miliar per km. Kemudian, jika disetarakan dengan anggaran pembangunan Sekolah Dasar (SD) 227.886 unit, diperkirakan butuh investasi 2,19 miliar tiap SD,"

"Bahkan jika kita konversikan anggaran subsidi BBM setara dengan 3.333 unit Rumah Sakit skala menengah, dengan besaran investasi Rp. 150 miliar per rumah sakit. Bahkan jika diperlukan untuk membangun puskesmas, anggaran subsidi dan kompensasi BBM dapat digunakan untuk membangun 41.666 puskesmas baru dengan biaya Rp. 12 miliar per puskesmas," jelas Said.

Tidak hanya itu, menurutnya, indeks prevalensi kerawanan pangan RI yang masih tergolong tinggi juga menjadi hal yang perlu lebih diprioritaskan dengan merelokasi anggaran subsidi energi. Anggaran tersebut dapat digunakan untuk memperkuat program ketahanan pangan.

"Karena kita masih hanya swasembada beras, sementara komoditas pangan lainnya seperti daging, sayuran, gula, kedelai, dan lain-lain masih impor. Urusan kemandirian pangan sangat penting, sebab dengan ketergantungan pangan rawan untuk menghadapi berbagai resiko ekonomi, baik yang diterima oleh rakyat maupun fiskal kita," tambah Said.

Ajak dukung pengurangan subsidi energi di halaman berikutnya. Langsung klik

Oleh karena itu, Said mengungkapkan, sudah saatnya untuk mendukung pengurangan subsidi energi dan direalokasi menjadi anggaran diperlukan masyarakat miskin seperti Bantuan Langsung Tunai, bantuan upah tenaga kerja, bantuan sosial produktif UMKM, fasilitas Kesehatan dan pendidikan agar dana APBN lebih dirasakan masyarakat. Artinya, Subsidi dialihkan dari si kaya ke si Miskin yang benar benar membutuhkan.

"Kebijakan ini juga bisa meredam tekanan inflasi yang sangat rentan terhadap rumah tangga miskin. Untuk mendorong barang barang produksi, khususnya yang diproduksi oleh UMKM yang menopang barang konsumsi sehari hari rakyat, pengalihan dana subsidi dan kompensasi BBM, salah satunya dapat difokuskan kepada subsidi BBM untuk para pelaku UMKM yang teknisnya bisa diintegrasikan dengan keseluruhan program perlindungan sosial," kaat Said.

Sementara itu, ia melanjutkan, untuk relokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi dapat difokuskan untuk penguatan program konversi energi. Langkah ini sangat penting untuk ketergantungan RI pada suplai impor minyak bumi.

"Konversi kebijakan energi untuk mengarah kemandirian energi harus menjadi prioritas agar kejadian bengkaknya anggaran subsidi dan kompensasi BBM tidak terus terulang di masa mendatang. Jangan sampai kita jatuh pada lubang yang sama, padahal kita tahu lokasi lubang tersebut," ungkap Said.

"Latar kebijakan ini penting untuk diketahui masyarakat agar bisa mengerti, memahami, dan akhirnya meyakini bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi (solar dan pertalite) bukan semata urusan fiskal APBN tapi sekali lagi mengalihkan agar lebih tepat sasaran dan masyarakat bawah lebih berdaya secara ekonomi," tambahnya.

(hns/hns)

Hide Ads